Penginderaan jauh pada awalnya dikembangkan dari teknik
interpretasi foto udara. Pada tahun 1919 telah dimulai upaya pemotretan melalui
pesawat terbang dan interpretasi foto udara (Howard, 1990). Meskipun
demikian, teknik interpretasi foto udara untuk keperluan sipil (damai) sendiri
baru berkembang pesat setelah Perang Dunia II, karena sebelumnya foto udara
lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan militer. Dalam tiga puluh tahun
terakhir, penggunaan teknologi satelit dan teknologi komputer untuk
menghasilkan informasi keruangan (atau peta) suatu wilayah semakin dirasakan
manfaatnya. Penggunaan teknik interpretasi citra secara manual, baik
dengan foto udara maupun citra non-fotografik yang diambil melalui wahana
selain pesawat udara dan sensor selain kamera hingga saat ini telah cukup mapan
dan diakui manfaat dan akurasinya. Di sisi lain, pengolahan atau
pemrosesan citra satelit secara digital telah taraf operasional untuk seluruh
aplikasi di bidang survei-pemetaan.
Hampir bersamaan dengan perkembangan teknik analisis
data keruangan melalui teknologi SIG, kebutuhan akan citra digital yang
diperoleh melalui perekaman sensor satelit sumberdaya pun semakin meningkat.
Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa
keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari segi harga,
periode ulang perekaman daerah yang sama, pemilihan spektrum panjang gelombang
untuk mengatasi hambatan atmosfer, serta kombinasi saluran spektral (band) yang dapat diatur sesuai dengan
tujuan.
Di
Indonesia, penggunaan foto udara untuk survei-pemetaan sumberdaya telah
dimulai oleh beberapa lembaga pada awal tahun 1970-an. Pada periode yang
sama, ketika berbagai lembaga di Indonesia masih belajar memanfaatkan foto
udara, Amerika Serikat pada tahun 1972 telah meluncurkan satelit sumberdaya
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite - 1), yang kemudian diberi
nama baru menjadi Landsat-1. Satelit ini mampu merekam hampir seluruh
permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang, dan dengan resolusi
spasial sekitar 80 meter. Sepuluh tahun kemudian, Amerika Serikat telah
meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang merupakan satelit
sumberdaya generasi kedua, dengan memasang sensor baru Thematic Mapper yang mempunyai resolusi yang jauh lebih tinggi
daripada pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam saluran spektral pantulan dan
120 meter pada satu saluran spektral pancaran termal. Pada tahun yang hampir
bersamaan itu pula, beberapa lembaga di Indonesia baru mulai memasang
sistem komputer pengolah citra digital satelit, dan menjadi salah satu negara
yang termasuk awal di Asia Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra
digital. Meskipun demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara
berkembang cenderung tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
Memasuki
awal sasrawarsa (milenium) ketiga ini, telah beredar banyak jenis satelit
sumberdaya yang diluncurkan oleh banyak negara. Dari negara maju seperti
Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jepang, dan Rusia, hingga negara-negara
besar namun dengan pendapatan per kapita yang masih relatif rendah seperti
India dan Republik Rakyat Cina. Berbagai satelit sumberdaya yang diluncurkan
itu menawarkan kemam-puan yang bervariasi, dari resolusi sekitar satu meter
atau kurang (IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta
Amerika Serikat), 10 meter atau kurang (SPOT milik Perancis, COSMOS milik
Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang), 15-30 meter (ASTER yang
merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA, Landsat 7 ETM+ milik Amerika
Serikat, yang sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003), 50 meter (MOS,
milik Jepang), 250 dan 500 meter (MODIS milik Jepang) hingga 1,1 km (NOAA-AVHRR
milik Amerika Serikat).
Banyak
negara di Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, Asia, dan bahkan Afrika telah
memanfaatkan citra satelit itu untuk pembangunan, baik dalam pengelolaan
sumberdaya maupun mitigasi bencana alam. Tahun-tahun belakangan ini,
negera-negara berkembang seperti Thailand, Malaysia, Nigeria dan Indonesia pun
menyusul untuk meluncurkan dan mengoperasikan satelit penginderaan
jauh berukuran kecil. Sensor-sensor satelit baru tidak hanya beroperasi
pada wilayah multispektral. Saluran pankromatik dengan resolusi spasial
yang lebih tinggi daripada saluran spektral lain pada sensor yang sama juga
dioperasikan oleh berbagai sistem. Sensor aktif seperti radar juga telah
dioperasikan oleh berbagai satelit seperti JERS (Jepang), ERS dan Envisat (Uni
Eropa), Radarsat (Kanada); sementara sistem sensor aktif berbasis teknologi
laser (Lidar) terus dikembangkan untuk memperoleh informasi ketinggian
permukaan kanopi pepohonan dan ketinggian permukaan tanahnya sekaligus.
Sistem satelit Modis, Envisat dan EO-1 juga mengangkut sensor hiperspektral
dengan ratusan saluran spektral untuk memperoleh informasi yang lebih spesifik
mengenai objek, termasuk komposisi kimia mineral dan spesies organisme.
Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam, kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan kewilayahan (regional). Perkembangan ini meliputi skala sangat besar (lingkup sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat luas). Gambar 1.4 memberikan deksripsi visual tentang hubungan antara bidang aplikasi dengan resolusi spasial (kerincian ukuran atau detil informasi terkecil yang diekstrak) dan resolusi spasial (kerincian informasi dari sisi frekuensi perekaman atau observasi ulang).
Penginderaan jauh di awal perkembangannya berasosiasi dengan aplikasi militer,
karena gambaran wilayah yang dapat disajikan secara vertikal mampu memberikan
inspirasi bagi pengembangan strategi perang yang lebih efektif daripada
peta. Efektivitas ini khususnya menyangkut pemantauan posisi dan
pergerakan musuh, serta peluang penyerbuan dari titik-titik tertentu.
Kemajuan teknologi pemotretan yang melibatkan film peka sinar inframerah dekat
juga telah mendukung analisis militer dalam membedakan kenampakan kamuflase
objek militer dari objek-objek alami seperti misalnya pepohonan.
Penggunaan teknologi foto inframerah akhirnya juga dimanfa-atkan untuk aplikasi
pertanian, khususnya dalam konteks perkiraan kerapatan vegetasi, biomassa dan
aktivitas fotosintesis, karena kepekaan pantulan sinar inframerah dekat ternyata
berkaitan dengan struktur interal daun dan kerapatan vertikal vegetasi.
Foto udara inframerah juga terbukti efektif pembedaan objek air dan bukan air,
sehingga pemetaan garis pantai pun sangat terbantu oleh teknologi ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, sensor-sensor ini merambah ke wilayah spektra
panjang gelombang yang lebih luas, seperti misalnya inframerah tengah, jauh dan
termal, serta gelombang mikro. Rambahan ini memerlukan jenis sensor dan
detektor yang berbeda dengan kamera, namun sekaligus memperluas bidang aplikasi
penginderaan jauh, sehingga semakin banyak jenis objek dan fenomena yang dapat
dikaji melalui citra hasil perekaman yang diperoleh. Setiap eksperimen
yang sukses dengan rancangan sensor baru kemudian diuji-cobakan dengan wahana
yang berbeda, untuk kemudian dioperasionalisasikan ke sistem satelit, yang
mampu melakukan perekaman secara kontinyu dan sekaligus memiliki cakupan
global. Berbeda dari pendahulunya yang hanya beroperasi dengan kamera
dengan hasil perekamana berupa citra analog, sensor-sensor baru beroperasi
dengan sistem opto-elektronik yang lebih maju dan citra yang dihasilkan pun
berformat digital. Beda tinggi orbit, kecepatan mengorbit dan sistem
teleskop maupun sistem opto-elektronik detektor akhirnya juga menentukan
resolusi temporal, resolusi spasial serta resolusi spektral data yang
dihasilkan.
Pergeseran Penerapan Teknologi: Dari Pemerintah ke
Swasta
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen, 1996). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan berakhirnya era Perang Dingin. Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing adalah Earlybird dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerin-tah Amerika Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen, 1996). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan berakhirnya era Perang Dingin. Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing adalah Earlybird dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerin-tah Amerika Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.
Pada
aras pengguna, semakin banyak perusahaan swasta yang bergerak di bidang
penginderaan jauh. Lingkup kegiatan ini bukan hanya pada penguasaan
pengolahan data awal hingga pemasaran pada tingkat hulu seperti EOSAT,
SpaceImaging dan DigitalGlobe, melainkan juga penyediaan jasa konsultansi untuk
berbagai kegiatan seperti pekerjaan umum, kehutanan, pembukaan lahan
transmigrasi, hingga lahan yasan (real estate). Pergesaran ini
membawa implikasi pada kemampuan akses data penting kewilayahan yang sebelumnya
hanya dikuasai oleh negara (khususnya militer) ke pihak swasta.
Pertukaran dan jual-beli data resolusi tinggi saat ini semakin sulit untuk
diawasi dan diatur oleh negara, mengingat bahwa lalu lintas data telah dapat
dilakukan secara bebas melalui jaringan internet. Banyak perusahaan
pemasaran data satelit sumberdaya dan cuaca dewasa ini menyediakan fasilitas download
data melalui internet.
Perkembangan Teknik
Analisis
Ketika berbagai negara berkembang masih memiliki akses terbatas ke sistem
komputer untuk pengolahan citra digital, pemanfaatan produk penginderaan
jauh satelit masih berupa citra tercetak (hard copy) yang diinterpretasi secara visual atau manual.
Teknik interpretasi semacam ini telah berkembang pesat dalam penginderaan jauh
sistem fotografik, dan hingga saat ini merupakan teknik yang dipandang
mapan. Prinsip-prinsip interpretasi fotografis dapat diterapkan pada
citra satelit yang telah dicetak, dan memberikan banyak informasi mengenai
fenomena spasial di permukaan bumi pada skala regional. Citra-citra
satelit yang telah tercetak ini memberikan keuntungan terutama dalam hal (a)
kemudahan analisis regional secara cepat (karena dimungkinkannya synoptic overview pada satu lembar citra
berukuran 60 km x 60 km sampai dengan 180 km x 185 km), dan (b) kemudahan
pemindahan hasil interpretasi (plotting)
ke peta dasar, karena tidak memerlukan banyak lembar dengan skala yang
berbeda-beda dan mempunyai distorsi geometri yang relatif lebih rendah
dibandingkan foto udara.
Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer yang semakin pesat dewasa ini
--di mana banyak perusahaan telah melakukan downsizing
(beralih dari komputer mainframe ke
komputer mini, dan dari komputer mini ke komputer mikro/PC) maka akses berbagai
kelompok praktisi dan akademisi ke otomasi pengolahan citra digital pun semakin
besar. Semakin banyak paket perangkat lunak pengolah citra digital dan
SIG yang dioperasikan dengan PC dan bahkan komputer jinjing (laptop). Di sisi lain, berbagai
jenis PC dan laptop saat ini ditawarkan dengan harga yang semakin murah namun
dengan arsitektur prosesor yang semakin canggih dan kemampuan pengolahan maupun
penyimpanan data yang semakin tinggi.
Teknologi
SIG sebenarnya telah dimulai pada akhir tahun 1960-an, antara lain oleh
Tomlinson (Marble dan Pequet, 1990). Kemudian pada dekade 1970-an
beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah memulai untuk menerapkan SIG
dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan perencanaan wilayah. Pada sekitar
tahun 1979, Jack Dangermond mengawali pengembangan paket perangkat lunak SIG
yang sangat terkenal, yaitu Arc/Info untuk mengisi pasar komersia (Rhind et al., 2004). Setelah itu,
puluhan --bahkan ratusan macam paket perangkat lunak SIG, yang sebagian besar
di antaranya dioperasikan untuk PC, membanjiri pasar dunia. Kebutuhan
akan fasilitas pengolahan citra digital yang sekaligus dilengkapi dengan
fasilitas SIG telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam analisis data
spasial. Sistem pengolah citra satelit dapat memberikan masukan pada SIG
berupa peta-peta tematik hasil ekstraksi informasi dari citra digital
satelit. Di sisi lain, fasilitas analisis spasial dari SIG mampu
mempertajam kemampuan analisis penglohan citra, terutama dalam hal pemanfaatan
data bantu untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi multispektral (Jensen,
2005).
Dari
Multispektral ke Multisumber dan Hiperspektral
Pada awal perkembangannya, kamera hanya mampu menghasil-kan foto
hitam-putih. Hal yang sama diberikan oleh foto yang dipasang pada pesawat
udara untuk kebutuhan pengintaian dalam aplikasi miltiter. Kehadiran film
berwarna pun secara cepat berimbas pada penggunaan yang lebih intensif dalam
penginderaan jauh berbasis foto udara. Ketersediaan film inframerah
kemudian mendorong perkembang-an kamera multisaluran (multiband), yang pada
umumnya memuat empat lensa dalam satu badan kamera, dengan kepekaan yang
berbeda-beda untuk wilayah spektral berikut: biru, hijau, merah dan inframerah
dekat. Tahap ini menandai perkembangan sistem pemotretan dari yang
bersifat unispektral (saluran tunggal) dan berjulat spektral lebar –misalnya
dari biru hingga merah— ke sistem pemotretan multispektral.
Analisis visual foto udara pankromatik, baik hitam-putih maupun berwarna pun
kemudian bergeser ke analisis multispektral sederhana, dengan memanfaatkan alat
pemadu warna elektrik seperti additive
colour viewer (ACV).
ACV merupakan suatu antarmuka (interface)
yang dapat digunakan untuk menampilkan diapositif film multispektral dengan
penyinaran warna primer (merah, hijau dan biru) untuk masing-masing
saluran. Melalui teknik ini, empat saluran yang tersedia dalam empat frame diapositif dapat disajikan sebagai
foto udara komposit warna semu atau warna asli, tergantung pada pemilihan
kombinasi sinar merah, hijau dan biru pada diapositif saluran yang
berbeda-beda. Interpretasi visual atas citra analog dilakukan di atas
kaca tempat memproyeksikan sorotan komposit diapositif tersebut.
Dengan tersedianya sistem perekam citra digital, maka citra multispektral pun
diolah dengan komputer, dan setiap kombinasi warna dalam bentuk citra komposit
bisa dihasilkan dengan mudah. Analisis multispektral dapat dilakukan secara
lebih teliti dengan membaca nilai-nilai piksel pada berbagai saluran spektral
secara serentak, untuk diperbandingkan, dikombinasi melalui transformasi,
maupun diekstrak melalui berbagai analisis statistik multivariat yang rumit, di
mana setiap saluran berfungsi sebagai satu variabel informasi spektral.
Dari awal tahun 1970-an hingga saat buku ini ditulis, telah berkembang banyak
metode analisis multispektral, yang dapat dibaca di Adams dan Gilespie (2006),
Liu dan Mason (2008), dan juga Gao (2010).
Kehadiran teknologi informasi spasial melalui SIG telah memperluas jangkauan
analisis citra, sehingga kemudian berkembanglah metode-metode ekstraksi
informasi objek atau fenomena di permukaan bumi dengan memasukkan data yang
bersifat nir-spektral, sepertu misalnya jenis tanah, bentuklahan, kemiringan
lereng, elevasi, dan juga peta-peta berisi objek-objek spasial lain.
Tentu saja, peta-peta ini harus disimpan dan diproses dalam format data
digital. Dengan demikian, perkembangan metode yang sudah berlangsung
sekitar 25 tahun ini kemudian semakin mengarah ke klasifikasi
multisumber. Beberapa tulisan awal yang mengintegrasikan penginderaan
jauh (khususnya pengolahan citra) dan SIG angara lain yang ditulis oleh
Verbyla dan Nyquist (1987), Srinivasan dan Richards (1990), Danoedoro (1993).
Sementara tulisan yang relatif baru untuk topik-topik ini, dengan teknik-teknik
yang juga baru, antara lain bisa dijumpai di Weng (2010).
Perkembangan analisis multispektral juga mengarah ke penambahan jumlah saluran
dan lebar setiap saluran. Sistem hiperspektral mampu mencitrakan fenomena
di permukaan bumi dengan jumlah saluran spektral yang mencapai ratusan dan
dengan lebar setiap saluran yang hanya beberapa nanometer. Analisis citra
semacam ini, yang disebut dengan spectral
cube (kubus spektral) berkembangan dengan pendekatan yang berbeda,
mengingat bahwa metode-metode analisis multispektral tidak akan efisien dari
sisi waktu pemrosesan dan akurasi hasilnya. Tulisan-tulisan van der Meer
dan de Jong (2003) serta Jensen (2007) dapat dijadikan rujukan awal untuk
keperluan ini.
Perkembangan sistem penginderaan jauh satelit telah menghasilkan citra-citra digital yang tidak pernah dibayangkan oleh praktisi di tahun 1980-an, yaitu citra multispektral dengan kualitas detil yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara. Hal ini tidak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan Presiden Bill Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata. Pada tahun 1999 muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit Ikonos dengan resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan resolusi spasial hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView. Saat ini, satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi spasial sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya mengijinkan citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi spasial 50 cm atau lebih kasar.
Kehadiran citra resolusi spasial tinggi telah menantang para analis citra untuk
mengembangkan metode ekstraksi informasi tematik yang berbeda dengan
klasifikasi multispektral –yang biasa diterapkan pada citra resolusi spasial
menengah dan rendah. Metode ini dikenal dengan nama klasifikasi berbasis
objek (object-based classification).
Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak diperlakukan seperti
foto udara karena para analis mengalami kesulitan dalam menerapkan klasifikasi
multispektral terhadap citra semacam itu. Pada klasifikasi multispektral
citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian dari objek penutup lahan
yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga hasil klasifikasi cenderung
merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan langsung dengan kategorisasi
objek yang dikembangkan dalam klasifikasi (Danoedoro, 2006). Untuk
mengatasi masalah ini, dalam kurun 10 tahun terakhir mulai berkembang metode
klasifikasi berbasis objek, yang memanfaatkan teknik segmentasi citra (Baatz
dan Schappe, 2000; Ranasinghe, 2006; Navulur, 2007)
DAFTAR PUSTAKA
Howard, John A. 1990. Remote Sensing Of Forest Resources-Theory and Aplication
Melbourne : Chapman and Hall.
Jensen, John R. 1986. Introductory Digital
Image Processing – a Remote Sensing Perspektive. London : Prentice Hall