Iklan

Tuesday, January 8, 2019

KAJIAN ILMU FILSAFAT DALAM BIDANG PERIKANAN



 A.      Latar Belakang
Pengetahuan tentang filsafat ilmu semakin dirasakan manfaatnya mengingat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan semakin menyimpang jauh dari filsafat. Pada awalnya, filsafat mengkaji ilmu dengan tujuan untuk mensejahterakan umat manusia. Aspek penyadaran akan penyimpangan ilmu sangat dibutuhkan bagi mahasiswa, sehingga mereka tidak mengulangi hal yang sama dimasa mendatang. Manfaatnya akan semakin terasa pada saat akan melakukan penelitian. Pengetahuan yang memadai sangat diperlukan, supaya peneltian yang akan dilakukan dapat direncanakan dengan baik, sistematis, efisien dan menghasilkan sesuatu sesuai dengan rencana. Banyak kasus dimana peneliti tidak memahami dengan baik rencana
penelitian yang telah dibuat, sehingga pada waktu melakukan penelitian di lapangan, melakukan penelitian yang sesungguhnya tidak sesuai dengan rancangan penelitian yang direncanakan.
Filsafat seringkali disebut sebagai ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Statemen ini dapat dibuktikan, setidaknya dengan skema sejarah munculnya ilmu-ilmu menyatakan bahwa kajian para filosof di era awal yang sangat luas berimplikasi pada munculnya ilmu-ilmu pada era selanjutnya. Psikologi, salah satu ilmu yang di era modern dikelompokkan pada kajian humaniora, adalah salah satu disiplin ilmu yang juga memiliki keberlanjutan sejarah dan pemikiran dengan ‘sang induk segala ilmu’. (Suriarumantri, 2003)
Secara umum filsafat ilmu memberikan landasan umum filosofis dari setiap ilmu dapat dipersingkat melalui tiga pertanyaan penting; Ontologi, apa yang ingin kita ketahui? Epistimologinya, Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Dan Aksiologinya, apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Ha-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma norma moral?
Dengan pengertian di atas, maka keterhubungan psikologi dengan filsafat dapat dipelajari lebih jauh. Psikologi sebagai bidang ilmu yang secara khusus bersinggungan langsung dengan obyek studi yakni manusia, mendapatkan refleksi sekunder dari analisa kefilsafatan. Tujuan dari analisa sekunder ini untuk memahami apa yang menjadi orientasi global serta kerja khusus dari ilmu psikologi itu sendiri. Filsafat ilmu juga membahas mengenai metodologi; pertayaan seperti apa yang disebut dengan ilmiah, dari mana sumber ilmu diperoleh, apa saja nilai yang dibawa oleh suatu ilmu?
Inilah yang ingin kita ketahui dalam filsafat ilmu, bagaimanakah studi psikologi, misalnya, disebut sebagai studi ilmiah? Sudahkah penelitian psikologi memberikan kebaikan bagi manusia?
B.  ONTOLOGI DALAM KAITANNYA DENGAN  POPULASI IKAN YANG SEMAKIN MEROSOT
1.  KEADAAN WILAYAH INDONESIA
Negara Indonesia terdiri atas 17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan Luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta Km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta Km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta Km2. Fakta tersebut menunjukkan bahwa prospek pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia dinilai sangat cerah dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis. Sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut (Barani, 2004).
Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12 juta ton per tahun. Namun demikian, telah terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya.Di sebagian wilayah telah terjadi gejala tangkap lebih (over fishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka, sedangkan di sebagian besar wilayah timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari.
2.  APA ITU POPULASI IKAN
Pengetahuan tentang populasi sebagai bagian dari pengetahuan ekologi telah berkembang menjadi semakin luas. Dinamika populasi tampaknya telah berkembang menjadi pengetahuan yang dapat berdiri sendiri. Dalam perkembangannya pengetahuan itu banyak mengembangkan kaidah-kaidah matematika terutama dalam pembahasan kepadatan dan pertumbuhan populasi.
Pengembangan kaidah-kaidah matematika itu sangat berguna untuk menentukan dan memprediksikan pertumbuhan populasi organisme di masa yang akan datang. Penggunaan kaidah matematika itu tidak hanya memperhatikan pertumbuhan populasi dari satu sisi yaitu jenis organisme yang di pelajari, tetapi juga memperhatikan adanya pengaruh dari faktor-faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Pengetahuan tentang dinamika populasi menyadarkan orang untuk mengendalikan populasi dari pertumbuhan meledak ataupun punah.
Populasi adalah kelompok ikan sejenis yang hidup di daerah tertentu pada waktu tertentu. Populasi selalu tersusun atas beberapa individu sejenis seperti populasi ikan bendeng,populasi ikan lele, mas, nila dst. Populasi ikan di suatu perairan adalah dinamis, mengalami perubahan-perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Penambahan terhadap populasi dapat disebabkan oleh karena masuknya individu lain yang berasal dari daerah lain (imigrasi)dan karena adanya kelahiran (natalitas). Pengurangan terhadap suatu populasi dapat disebabkan karena kematian (mortalitas)atau karena keluarnya individu dari populasi tersebut ke luar wilayah perikanan.
Pada awal perkembangan perikanan dunia, beberapa ahli beranggapan bahwa stok ikan laut sangat besar dan memiliki daya pulih (recovery) yang cepat sehingga bisa dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif yang lama. Namun kenyataannya, hanya dalam jangka waktu 20 tahun, stok ikan laut dunia sudah berkurang sekitar 80% dan saat ini kondisinya sudah mengkhawatirkan. Isu strategis dan permasalahan umum yang menjadi kendala utama dalam mewujudkan kegiatan perikanan berkelanjutan di Indonesia adalah: 1) pengelolaan perikanan (fisheries management); 2) penegakan hukum (law enforcement); dan 3) pelaku usaha perikanan.
Sebagai contoh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.  Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki potensi sumber daya hayati yang sangat besar.  Hal tersebut terkait dengan keanekaragaman hayati lautnya yang tertinggi di dunia.  Akan tetapi,  potensi tersebut kini mengalami cekaman yang serius.  Beberapa hal ditenggarai telah menjadi penyebab utama menurunnya stok ikan di daerah-daerah perikanan artisanal.  Seperti upaya tangkap berlebih (overfishing) hingga di bawah ambang batas tangkapan lestarinya, dan aktifitas perikanan yang merusak (Destructive Fishing), serta pencemaran perairan laut. Ditambah lagi dengan pengelolaan wilayah penangkapan yang tidak efektif, dan tingginya permintaan akan ikan hidup untuk konsumsi beberapa negara di Asia Tenggara.  Padahal, dengan total 456 spesies karang dan 2027 spesies ikan karang, terumbu karang Indonesia memproduksi 156.000 ton ikan dari 145.000 ton potensi lestarinya (sustainable yield), artinya 122 % dari potensi lestari ikan karang di Indonesia telah di eksploitasi.
B.  EPISTIMOLOGI DALAM KAITANNYA DENGAN PENYEBAB POPULASI IKAN YANG SEMAKIN MEROSOT
Sumberdaya ikan bersifat renewable dynamical aquatic resources.  Daya pulih ditentukan oleh produktivitas lingkungan perairan untuk mendukung proses rekrutmen dan pertumbuhan untuk mencapai keseimbangan dinamis akibat kematian alami atau penangkapan.  Dinamika stok ikan sangat dipengaruhi oleh aktivitas penangkapan atau kematian alami atau kegiatan lain yang dapat menghambat pertumbuhan dan rekrutmen (kerusakan habitat dan ketidakseimbangan ekosistem).Pada kenyataannya, kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan beranggapan bahwa sumberdaya ikan bersifat; renewable resources, common property, open access, dan senantiasa berpindah-pindah.  Sebagai contoh pada pengelolaan open access, yaitu regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”, siapa yang kuat akan bertahan.  Dampak negatif yang dtimbulkan dari regulasi open access yaitu,tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan.
Beberapa hal tersebut menjadikan sumberdaya ikan mempunyai kompleksitas yang tinggi dan luas.  Tingginya kompleksitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan juga disebabkan oleh tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan risiko pengelolaan yang ditimbulkan.  Oleh karena itu dalam pengelolaan sumberdaya ikan sebaiknya ditetapkan tujuan secara terarah dan terfokus, untuk memperoleh output dan mengatasi out come sesuai dengan prioritas secara tegas.  Pengelolaan tersebut dapat berupa pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Penyebab menurunnya stok ikan
Adapun penyebab menurunnya populasi atau stok ikan yaitu :
1. Penangkapan ikan berlebih (overfishing)
adalah salah satu bentuk eksploitasi berlebihan terhadap populasi ikan hingga mencapai tingkat yang membahayakan. Hilangnya sumber daya alam, laju pertumbuhan populasi yang lambat, dan tingkat biomassa yang rendah merupakan hasil dari penangkapan ikan berlebih, dan hal tersebut telah dicontohkan dari perburuan sirip hiu yang belebihan dan mengganggu ekosistem laut secara keseluruhan.
 Kemampuan usaha perikanan menuju kepulihan dari jatuhnya hasil tangkapan akibat hal ini tergantung pada kelentingan ekosistem ikan terhadap turunnya populasi. Perubahan komposisi spesies di dalam suatu ekosistem dapat terjadi pasca penangkapan ikan berlebih di mana energi pada ekosistem mengalir ke spesies yang tidak ditangkap.
Dampak penangkapan ikan berlebih secara tidak langsung adalah mengurangi pendapatan nelayan sehingga sebagian beralih profesi. Di Laut China Timur, nelayan beralih profesi dari perikanan tangkap ke budi daya perairan, pemrosesan ikan, dan wisata bahari setelah hasil tangkapan lokal menurun.
Kerusakan yang ditimbulkan dengan adanya penangkapan berlebihan yaitu :
a.  Kerusakan berdasarkan populasi ikan
Umumnya ikan ditangkap ketika sudah mencapai ukuran tubuh tertentu, dan ikan berukuran kecil tidak tertangkap oleh jaring atau dilepaskan oleh nelayan. Ikan yang ditangkap berlebih berdasarkan ukuran tubuh akan menyebabkan ikan yang tersisa di populasi merupakan ikan berusia muda yang masih jauh dari tahap kematangan seksual sehingga sulit bagi populasi untuk mengembalikan populasi. Hal ini akan menjadikan tangkapan berikutnya menjadi lebih sedikit, sehingga peraturan dilonggarkan untuk menjaga pendapatan nelayan.
b.  Kerusakan berdasarkan ekosistem
Penurunan populasi terjadi ketika penangkapan ikan berlebih mempengaruhi keseimbangan ekosistem, misal dengan menghabisi satu tingkatan trofik tertentu sehingga tingkatan trofik di atasnya tidak mendapatkan mangsa. Contoh lainnya adalah penangkapan ikan tuna berlebih yang menyebabkan populasi ikan kecil seperti ikan teri mengalami peningkatan.
Contoh kasus
v     Di Peru, penurunan hasil tangkapan jatuh pada tahun 1970an akibat penangkapan ikan berlebih dari gangguan cuaca oleh El Niño. Ikan teri dulunya merupakan sumber daya alam yang utama bagi Peru dengan hasil tangkapan lebih dati 10 juta metrik ton per tahun, namun setelah tahun 1971 jumlahnya terus menurun hingga hanya 4 juta metrik ton per tahun.
v  Di pulau Newfoundland, Kanada, populasi ikan kod mengalami penurunan drastis. Di tahun 1992, Kanada mengeluarkan moratorium yang melarang penangkapan ikan di wilayah tersebut hingga waktu yang tidak ditentukan.
v  Berbagai ikan demersal laut dalam seperti Hoplostethus atlanticus, Dissostichus eleginoides, dan Anoplopoma fimbria berada dalam kondisi terancam karena penangkapan ikan berlebih. Ikan laut dalam merupakan jenis ikan yang sangat lambat pertumbuhan dan laju reproduksinya. Ikan jenis ini baru mencapai tahap kematangan seksual pada usia 30 atau 40 tahun. Ikan laut dalam juga berada di perairan internasional yang tidak dilindungi oleh peraturan negara manapun. Ikan laut dalam semakin diincar sejak ditemukannya teknologi pendingin yang dapat dibawa hingga ke laut bebas.
2.   Iklim
Selain karena overcapacity, perubahan lingkungan diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan drastis stok ikan di Laut Atlantik Utara atau di dunia seperti yang dilaporkan dalam pertemuan ahli biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London [5]. Perubahan lingkungan yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu permukaan laut. Ekosistem laut, khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh dampak fluktuasi kondisi alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek penelitian Global Ocean Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil mengidentifikasi mekanisme alam yang mengatur dinamika populasi dan produktivitas laut. Mereka menduga bahwa penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai akibat dari kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade terakhir.
Para ahli eko-biologi GLOBEC telah menemukan respon biologi terhadap perubahan lingkungan dalam ekosistem laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa perubahan biologis dalam 10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap kelimpahan sumberdaya alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan kekuatan angin terhadap rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan dan kegagalan dalam memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok ikan cod di Newfoundland, Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan) menunjukkan bahwa faktor lain selain penangkapan telah berperan besar dalam menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Okrh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan berkelanjutan, penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa yang diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab, bila kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan iklim dan faktor lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing, juga diyakini sebagai penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu bahwa variasi iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya ikan-ikan yang hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan burayak telah diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan. Informasi ini telah terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan untuk menentukan kuota penangkapan yang optimal.
3.   Perusakan Habitat ikan
Kerusakan habitat ikan terhadap terumbu karang di laut. Perusakan terumbu karang ini dilakukan dengan cara pengeboman dalam usaha untuk menangkap ikan sebanyak – banyaknya oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan juga penggunaan racun potasium. Tidak hanya itu, tindakan yang merusak biota laut ini juga dilakukan dengan cara mengeksploitasi terumbu karang untuk digunakan sebagai pondasi bangunan dan juga mengeoploitasi hasil laut yang tidak teratur. Pengeksploitasian batu karang yang banyak digunakan untuk bahan bangunan juga menjadi salah satu fakor yang menyebabkan kerusakan ekosistem yang terjadi di laut.  Penambangan pasir pantai yang dilakukan manusia untuk di jadikan sebagai bahan bangunan. Hal ini tentu memicu kerusakan ekosistem laut yang menjadi daerah asuhan bagi beberapa jenis ikan.
Dengan rusaknya terumbu karang, tentunya juga akan merusak biota laut.   Terumbu karang merupakan tempat dimana hidupnya ribuan jenis ikan yang menggantungkan hidupnya dengan memakan fitoplankton yang juga hidup di daerah terumbu karang tersebut.
3.   Limbah
Pembuangan berbagai macam limbah yang dibuang ke laut. Berbagai macam limbah domestik, limbah industri dan pembuangan sisa pengolahan ikan yang langsung di buang ke laut tentunya akan mencemari dan menurunkan kualitas laut. Pencemaran ini tentunya akan merusak ekosistem laut.
4.   Penggunaan alat tangkap
Penggunaan alat tanggap seperti cantrang dapat menghasilkan hasil tangkapan yang tidak selektif seperti menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya.Biota yang dibuang akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan.Mengeruk dasar perairan dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi pemijahan biota laut.Sumber daya ikan di perairan Laut Jawa mengalami degradasi dikarenakan padatnya aktivitas penangkapan dari berbagai daerah.
Hasil Forum Dialog pada tanggal 24 April 2009 antara Nelayan Pantura dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, TNI-AL, POLRI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggambarkan kondisi Cantrang di Jawa Tengah, yaitu jumlah Kapal Cantrang  pada tahun 2004 berjumlah 3.209 unit, meningkat 5.100 unit di tahun 2007 dan pada tahun berjumlah 10.758 unit. Sedangkan hasil tangkapan per unit (Catch Per-unit of Effort/CPUE) menurun dari 8,66 ton pada tahun 2004 menjadi 4,84 ton di tahun 2007. Dikarenakan telah overfishing, para nelayan di Pantai Utara Jawa tersebut mulai bergerak ke Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) lainnya. Pergerakkan ini bahkan telah tercatat sejak 1970.
C.  AKSIOLOGI DALAM KAITANNYA PENGENDALIANNYA AKIBAT POPULASI IKAN YANG SEMAKIN MEROSOT
1.   ASPEK SOSIAL EKONOMI
Efisiensi ekonomi berbasis kegiatan :
-Menghilangkan subsidi bagi pengadaan armada baru dan modernisasi kapal penangkap-Pengurangan kapasitas perikanan; 
 - Mentransfer hak/izin penangkapan sebagai suatu aset kebutuhan finansial;
Susilo (2003) di dalam kajiannya terhadap status keberlanjutan perikanan tangkap di OKI Jakarta menyebutkan bahwa lapangan pekerjaan dan pendapatan altematif di luar perikanan tangkap sangat sensitif terhadap status keberlanjutan pelikanan tangkap. Makna dari pernyataan ini adalah bahwa kebijakan yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di luar perikanan serta altematif pendapatan harus diambil agar keberlanjutan pembangunan perikanan tangkap dapat dipertahankan.
2.   ASPEK LINGKUNGAN
Tingginya ketidakpastian pengelolaan penangkapan telah menjadi salah satu penyebab hilangnya beberapa stok ikan. Karena itu disarankan untuk melakukan penutupan fishing grounds guna mencegah overeksploitasi dengan cara membuat batas maksimum volume tangkapan (upper limit on fishing mortality). Marine protected areas (MPAs), dengan kombinasi usaha kuat untuk menjaga area yang bisa dieksploitasi, telah menunjukkan hasil positif untuk mengembalikan penurunan stok. Pada beberapa kasus, MPAs telah berhasil digunakan untuk memproteksi spesies lokal, memulihkan biomassa, dan sedikit menjaga populasi ikan di luarnya dengan melepas ikan burayak (juvenile) atau ikan dewasa.  Meskipun migrasi ikan menjadi titik kelemahan dari MPA, namun tetap akan membantu memulihkan spesies ikan dengan menghindarkan kerusakan akibat trawl, dan menurunkan kematian ikan burayak. Penggunaan zona larangan-tangkap dalam MPAs akan menjadi lebih efektif bila didukung dengan teknologi tinggi seperti monitoring dengan satelit, yang saat ini digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Lebih lanjut, MPAs yang mencakup suatu habitat laut mungkin juga akan mampu mencegah kepunahan stok ikan tertentu, mirip dengan kehutanan dan habitat darat lainnya yang telah bisa menjaga spesies liar. Hal ini akan menuntun kepada identifikasi pola reservasi yang akan menjadi contoh di daerah perikanan terdekat, dan selanjutnya mempengaruhi komunitas pantai dan masyarakat sekitarnya yang tertarik dalam reservasi sumber daya ini.
Sekali lagi, bahwa ikan hasil tangkapan dan populasi alami untuk menyuplai kebutuhan penduduk dunia adalah tidak tak terbatas. Dengan demikian, sudah seharusnya usaha lain difokuskan untuk mengembalikan populasi ikan alami yang turun drastis dengan melakukan restoking besar-besaran dan mengurangi total kapasitas penangkapan. Pengelolaan yang tepat terhadap ikan laut di alam akan menghasilkan kemajuan yang berarti, tetapi sayangnya, hal ini membutuhkan pre-kondisi seperti keinginan politik untuk meng- implementasikan perubahan-perubahan dan membuat persetujuan antar negara untuk penggunaan laut secara bersama.
3.   ASPEK TEKNOLOGI
Kebijakan pembatasan alat tangkap dengan menetapkan besar lubang mata jaring. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan selektifitas alat tangkap, sehingga yang tertangkap hanya  spesies target saja, sedang spesies lain dapat lolos keluar melalui lubang jaring tersebut. Contoh : pada alat tangkap purse seine, jaring angkat, dan jala tebar. Kebijakan diversifikasi alat tangkap. Dimaksudkan agar nelayan tidak bergantung pada salah satu jenis alat tangkap saja, melainkan dapat memilih jenis alat tangkap yang lain dengan spesies target yang berbeda.
Kegiatan bersifat generik :
v  Pengembangan kegiatan budidaya;
v  Pengembangan kegiatan pasca panen perikanan.
4.   TATA KELOLA (PERATURAN)
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut berkaitan erat dengan aspek penangkapan ikan berlebih.
v  Pasal 61 mewajibkan negara pemilik garis pantai untuk mempertahankan sumber daya alam di dalam ruang lingkup ZEE mereka untuk menjauhkannya dari status terancam dan tereksploitas berlebihan.
v  Pasal 62 mengizinkan negara pemilik garis pantai untuk mendayagunakan secara optimum sumber daya alam di ZEE tanpa melanggar pasal 61.
v  Pasal 65 mengizinkan negara pemilik garis pantai untuk melarang, membatasi, atau mengatur eksploitasi hewan laut.
Berdasarkan beberapa pengamat, penangkapan ikan berlebih dapat dipandang sebagai tragedi kebersamaan (tragedy of commons), yaitu sebuah konsep di mana kepemilikan bersama justru menimbulkan kerugian bagi semua. Dalam hal ini, kepemilikan bersama adalah sumber daya perairan. Melalui kepemilikan perseorangan, seperti privatisasi sumber daya perairan dan budi daya ikan, menurut mereka, dapat menjadi solusi. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap populasi ikan halibut di British Columbia memperlihatkan dampak positif setelah sebagian dari sumber daya perairan di sana diprivatisasi.
Solusi lainnya adalah kuota penangkapan ikan yang diberlakukan di mana nelayan hanya diizinkan untuk melabuhkan sejumlah ikan. Kemungkinan lainnya adalah menerapkan "kawasan dilarang masuk", di mana pada kawasan tersebut tidak boleh ada aktivitas penangkapan ikan komersial dan pelayaran sipil. Penerapan larangan masuk ini dapat berlangsung dalam batas waktu yang tidak ditentukan atau hanya diterapkan pada waktu tertentu saja, misal pada saat ikan berkembang biak.
Dari sisi penegakan hukum, pemerintah sudah menyiapkan perakat hukum untuk menjerat pelaku pelanggaran baik pencurian ikan maupun penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, diantaranya :
1.      UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan (Perubahan dari UU No. 31 tahun 2004)
Aturan Mengenai Pelarangan Pukat Hela dan sebagainya bukanlah aturan baru yang serta merta dikeluarkan oleh Menteri susi, Aturan tersebut keluar sebagai Amanah dari UU No 31 taHUN 2004 Tentang Perikanan junto  UU No 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dimana dalam Pasal 9 Ayat (1) UU tersebut disebutkan: “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia“.
2.      UU No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi ikan
3.      UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir, laut dan Pulau-pulau kecil.
Kegiatan kelembagaan :
v  Peningkatan efisiensi kelembagaan dalam pengelolaan perikanan;
v  Implementasi CCRF pada rencana pembangunan perikanan secara baik dan kontinu;
v  Efisiensi ekonomi dan kelembagaan pada kegiatan internasional;

No comments:

Post a Comment