A.
Latar Belakang
Pengetahuan tentang filsafat ilmu semakin dirasakan
manfaatnya mengingat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan semakin menyimpang
jauh dari filsafat. Pada awalnya, filsafat mengkaji ilmu dengan tujuan untuk
mensejahterakan umat manusia. Aspek penyadaran akan penyimpangan ilmu sangat
dibutuhkan bagi mahasiswa, sehingga mereka tidak mengulangi hal yang sama
dimasa mendatang. Manfaatnya akan semakin terasa pada saat akan melakukan
penelitian. Pengetahuan yang memadai sangat diperlukan, supaya peneltian yang
akan dilakukan dapat direncanakan dengan baik, sistematis, efisien dan
menghasilkan sesuatu sesuai dengan rencana. Banyak kasus dimana peneliti tidak
memahami dengan baik rencana
penelitian yang
telah dibuat, sehingga pada waktu melakukan penelitian di lapangan, melakukan
penelitian yang sesungguhnya tidak sesuai dengan rancangan penelitian yang
direncanakan.
Filsafat seringkali disebut sebagai ibu dari semua
ilmu (mater scientiarum). Statemen
ini dapat dibuktikan, setidaknya dengan skema sejarah munculnya ilmu-ilmu
menyatakan bahwa kajian para filosof di era awal yang sangat luas berimplikasi
pada munculnya ilmu-ilmu pada era selanjutnya. Psikologi, salah satu ilmu yang
di era modern dikelompokkan pada kajian humaniora, adalah salah satu disiplin
ilmu yang juga memiliki keberlanjutan sejarah dan pemikiran dengan ‘sang induk
segala ilmu’. (Suriarumantri, 2003)
Secara umum filsafat ilmu memberikan landasan umum
filosofis dari setiap ilmu dapat dipersingkat melalui tiga pertanyaan penting; Ontologi, apa yang ingin kita ketahui? Epistimologinya, Bagaimana cara kita
memperoleh pengetahuan? Dan Aksiologinya,
apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
Ontologis; cabang ini
menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari
objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
Epistemologi
berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Ha-hal apa yang harus di perhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
Aksiologi menjawab,
untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma norma
moral?
Dengan pengertian di atas, maka keterhubungan
psikologi dengan filsafat dapat dipelajari lebih jauh. Psikologi sebagai bidang
ilmu yang secara khusus bersinggungan langsung dengan obyek studi yakni
manusia, mendapatkan refleksi sekunder dari analisa kefilsafatan. Tujuan dari analisa
sekunder ini untuk memahami apa yang menjadi orientasi global serta kerja
khusus dari ilmu psikologi itu sendiri. Filsafat ilmu juga membahas mengenai
metodologi; pertayaan seperti apa yang disebut dengan ilmiah, dari mana sumber
ilmu diperoleh, apa saja nilai yang dibawa oleh suatu ilmu?
Inilah yang
ingin kita ketahui dalam filsafat ilmu, bagaimanakah studi psikologi, misalnya,
disebut sebagai studi ilmiah? Sudahkah penelitian psikologi memberikan kebaikan
bagi manusia?
B. ONTOLOGI DALAM KAITANNYA DENGAN POPULASI IKAN YANG SEMAKIN MEROSOT
1. KEADAAN WILAYAH INDONESIA
Negara Indonesia
terdiri atas 17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan
Luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta Km2, yang terdiri dari perairan
kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta Km2 serta perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta Km2. Fakta tersebut menunjukkan
bahwa prospek pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia dinilai sangat cerah
dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis. Sumberdaya ikan yang
hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity)
paling tinggi. Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan
di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan
laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara
lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan
karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan
termasuk rumput laut (Barani, 2004).
Indonesia memiliki potensi sumber daya
perikanan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya.
Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY) sumber daya perikanan
tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang
dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12
juta ton per tahun. Namun demikian, telah terjadi ketidakseimbangan tingkat
pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya.Di
sebagian wilayah telah terjadi gejala tangkap lebih (over fishing)
seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka, sedangkan di sebagian besar wilayah
timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari.
2. APA ITU POPULASI IKAN
Pengetahuan tentang populasi sebagai bagian dari
pengetahuan ekologi telah berkembang menjadi semakin luas. Dinamika populasi
tampaknya telah berkembang menjadi pengetahuan yang dapat berdiri sendiri.
Dalam perkembangannya pengetahuan itu banyak mengembangkan kaidah-kaidah
matematika terutama dalam pembahasan kepadatan dan pertumbuhan populasi.
Pengembangan kaidah-kaidah
matematika itu sangat berguna untuk menentukan dan memprediksikan pertumbuhan
populasi organisme di masa yang akan datang. Penggunaan kaidah matematika itu
tidak hanya memperhatikan pertumbuhan populasi dari satu sisi yaitu jenis
organisme yang di pelajari, tetapi juga memperhatikan adanya pengaruh dari
faktor-faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Pengetahuan tentang
dinamika populasi menyadarkan orang untuk mengendalikan populasi dari
pertumbuhan meledak ataupun punah.
Populasi adalah kelompok ikan
sejenis yang hidup di daerah tertentu pada waktu tertentu. Populasi selalu
tersusun atas beberapa individu sejenis seperti populasi ikan bendeng,populasi
ikan lele, mas, nila dst. Populasi ikan di suatu perairan adalah dinamis,
mengalami perubahan-perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Penambahan
terhadap populasi dapat disebabkan oleh karena masuknya individu lain yang
berasal dari daerah lain (imigrasi)dan karena adanya kelahiran (natalitas).
Pengurangan terhadap suatu populasi dapat disebabkan karena kematian
(mortalitas)atau karena keluarnya individu dari populasi tersebut ke luar
wilayah perikanan.
Pada awal perkembangan perikanan dunia,
beberapa ahli beranggapan bahwa stok ikan laut sangat besar dan memiliki daya
pulih (recovery) yang cepat sehingga
bisa dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif yang lama.
Namun kenyataannya, hanya dalam jangka waktu 20 tahun, stok ikan laut dunia
sudah berkurang sekitar 80% dan saat ini kondisinya sudah mengkhawatirkan. Isu
strategis dan permasalahan umum yang menjadi kendala utama dalam mewujudkan
kegiatan perikanan berkelanjutan di Indonesia adalah: 1) pengelolaan perikanan
(fisheries management); 2) penegakan hukum (law enforcement); dan 3) pelaku usaha
perikanan.
Sebagai contoh dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan. Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki
potensi sumber daya hayati yang sangat besar. Hal tersebut terkait dengan
keanekaragaman hayati lautnya yang tertinggi di dunia. Akan tetapi,
potensi tersebut kini mengalami cekaman yang serius. Beberapa hal
ditenggarai telah menjadi penyebab utama menurunnya stok ikan di daerah-daerah
perikanan artisanal. Seperti upaya tangkap berlebih (overfishing) hingga di bawah
ambang batas tangkapan lestarinya, dan aktifitas perikanan yang merusak (Destructive Fishing), serta
pencemaran perairan laut. Ditambah lagi dengan pengelolaan wilayah penangkapan
yang tidak efektif, dan tingginya permintaan akan ikan hidup untuk konsumsi
beberapa negara di Asia Tenggara. Padahal, dengan total 456 spesies
karang dan 2027 spesies ikan karang, terumbu karang Indonesia memproduksi
156.000 ton ikan dari 145.000 ton potensi lestarinya (sustainable yield), artinya
122 % dari potensi lestari ikan karang di Indonesia telah di eksploitasi.
B. EPISTIMOLOGI DALAM KAITANNYA DENGAN PENYEBAB POPULASI
IKAN YANG SEMAKIN MEROSOT
Sumberdaya
ikan bersifat renewable
dynamical aquatic resources. Daya pulih ditentukan oleh produktivitas
lingkungan perairan untuk mendukung proses rekrutmen dan pertumbuhan untuk
mencapai keseimbangan dinamis akibat kematian alami atau penangkapan.
Dinamika stok ikan sangat dipengaruhi oleh aktivitas penangkapan atau kematian
alami atau kegiatan lain yang dapat menghambat pertumbuhan dan rekrutmen
(kerusakan habitat dan ketidakseimbangan ekosistem).Pada kenyataannya, kegiatan
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan beranggapan bahwa sumberdaya ikan
bersifat; renewable
resources, common property, open access, dan senantiasa
berpindah-pindah. Sebagai contoh pada pengelolaan open access, yaitu
regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya
hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat
apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”, siapa yang kuat
akan bertahan. Dampak negatif yang dtimbulkan dari regulasi open access yaitu,tragedy of common baik
berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar
nelayan.
Beberapa
hal tersebut menjadikan sumberdaya ikan mempunyai kompleksitas yang tinggi dan
luas. Tingginya kompleksitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan juga
disebabkan oleh tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan risiko pengelolaan yang
ditimbulkan. Oleh karena itu dalam pengelolaan sumberdaya ikan sebaiknya
ditetapkan tujuan secara terarah dan terfokus, untuk memperoleh output dan
mengatasi out come sesuai
dengan prioritas secara tegas. Pengelolaan tersebut dapat berupa
pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
Penyebab menurunnya stok ikan
Adapun penyebab menurunnya populasi atau stok ikan yaitu
:
1. Penangkapan ikan berlebih (overfishing)
adalah salah satu bentuk eksploitasi berlebihan
terhadap populasi ikan hingga mencapai tingkat yang membahayakan. Hilangnya
sumber daya alam, laju pertumbuhan populasi yang lambat, dan tingkat biomassa
yang rendah merupakan hasil dari penangkapan ikan berlebih, dan hal tersebut
telah dicontohkan dari perburuan sirip hiu yang belebihan dan mengganggu ekosistem
laut secara keseluruhan.
Kemampuan usaha
perikanan menuju kepulihan dari jatuhnya hasil tangkapan akibat hal ini
tergantung pada kelentingan ekosistem ikan terhadap turunnya populasi.
Perubahan komposisi spesies di dalam suatu ekosistem dapat terjadi pasca
penangkapan ikan berlebih di mana energi pada ekosistem mengalir ke spesies
yang tidak ditangkap.
Dampak penangkapan ikan berlebih secara tidak langsung
adalah mengurangi pendapatan nelayan sehingga sebagian beralih profesi. Di Laut
China Timur, nelayan beralih profesi dari perikanan tangkap ke budi daya
perairan, pemrosesan ikan, dan wisata bahari setelah hasil tangkapan lokal
menurun.
Kerusakan yang ditimbulkan dengan adanya penangkapan
berlebihan yaitu :
a. Kerusakan
berdasarkan populasi ikan
Umumnya ikan ditangkap ketika sudah mencapai ukuran
tubuh tertentu, dan ikan berukuran kecil tidak tertangkap oleh jaring atau
dilepaskan oleh nelayan. Ikan yang ditangkap berlebih berdasarkan ukuran tubuh
akan menyebabkan ikan yang tersisa di populasi merupakan ikan berusia muda yang
masih jauh dari tahap kematangan seksual sehingga sulit bagi populasi untuk
mengembalikan populasi. Hal ini akan menjadikan tangkapan berikutnya menjadi
lebih sedikit, sehingga peraturan dilonggarkan untuk menjaga pendapatan
nelayan.
b. Kerusakan
berdasarkan ekosistem
Penurunan populasi terjadi ketika penangkapan ikan
berlebih mempengaruhi keseimbangan ekosistem, misal dengan menghabisi satu tingkatan
trofik tertentu sehingga tingkatan trofik di atasnya tidak mendapatkan mangsa.
Contoh lainnya adalah penangkapan ikan tuna berlebih yang menyebabkan populasi
ikan kecil seperti ikan teri mengalami peningkatan.
Contoh kasus
v Di Peru, penurunan
hasil tangkapan jatuh pada tahun 1970an akibat penangkapan ikan berlebih dari
gangguan cuaca oleh El Niño. Ikan teri dulunya merupakan sumber daya alam yang
utama bagi Peru dengan hasil tangkapan lebih dati 10 juta metrik ton per tahun,
namun setelah tahun 1971 jumlahnya terus menurun hingga hanya 4 juta metrik ton
per tahun.
v
Di pulau
Newfoundland, Kanada, populasi ikan kod mengalami penurunan drastis. Di tahun
1992, Kanada mengeluarkan moratorium yang melarang penangkapan ikan di wilayah
tersebut hingga waktu yang tidak ditentukan.
v
Berbagai ikan
demersal laut dalam seperti Hoplostethus
atlanticus, Dissostichus eleginoides, dan Anoplopoma fimbria berada dalam kondisi terancam karena penangkapan
ikan berlebih. Ikan laut dalam merupakan jenis ikan yang sangat lambat
pertumbuhan dan laju reproduksinya. Ikan jenis ini baru mencapai tahap
kematangan seksual pada usia 30 atau 40 tahun. Ikan laut dalam juga berada di
perairan internasional yang tidak dilindungi oleh peraturan negara manapun.
Ikan laut dalam semakin diincar sejak ditemukannya teknologi pendingin yang
dapat dibawa hingga ke laut bebas.
2. Iklim
Selain karena overcapacity, perubahan lingkungan
diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan drastis stok ikan di Laut
Atlantik Utara atau di dunia seperti yang dilaporkan dalam pertemuan ahli
biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London [5]. Perubahan lingkungan
yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu permukaan laut. Ekosistem laut,
khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh dampak fluktuasi kondisi
alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek penelitian Global Ocean
Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil mengidentifikasi mekanisme alam yang
mengatur dinamika populasi dan produktivitas laut. Mereka menduga bahwa
penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai akibat dari
kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade terakhir.
Para ahli eko-biologi GLOBEC
telah menemukan respon biologi terhadap perubahan lingkungan dalam ekosistem
laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa perubahan biologis dalam
10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap kelimpahan sumberdaya
alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan kekuatan angin terhadap
rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan dan kegagalan dalam
memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok ikan cod di Newfoundland,
Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan) menunjukkan bahwa faktor lain
selain penangkapan telah berperan besar dalam menjamin kelestarian sumberdaya
ikan. Okrh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan berkelanjutan,
penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa yang
diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab,
bila kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan iklim dan faktor
lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing, juga diyakini sebagai
penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu bahwa variasi
iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya ikan-ikan yang
hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan burayak telah
diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan. Informasi ini telah
terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan untuk
menentukan kuota penangkapan yang optimal.
3. Perusakan Habitat ikan
Kerusakan habitat ikan terhadap terumbu karang di laut. Perusakan
terumbu karang ini dilakukan dengan cara pengeboman dalam usaha untuk menangkap
ikan sebanyak – banyaknya oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan juga
penggunaan racun potasium. Tidak hanya
itu, tindakan yang merusak biota laut ini juga dilakukan dengan cara
mengeksploitasi terumbu karang untuk digunakan sebagai pondasi bangunan dan
juga mengeoploitasi hasil laut yang tidak teratur. Pengeksploitasian batu
karang yang banyak digunakan untuk bahan bangunan juga menjadi salah satu fakor
yang menyebabkan kerusakan ekosistem yang terjadi di
laut. Penambangan pasir pantai yang dilakukan manusia untuk di
jadikan sebagai bahan bangunan. Hal ini tentu memicu kerusakan ekosistem laut
yang menjadi daerah asuhan bagi beberapa jenis ikan.
Dengan rusaknya terumbu karang, tentunya
juga akan merusak biota laut. Terumbu karang merupakan tempat dimana
hidupnya ribuan jenis ikan yang menggantungkan hidupnya dengan memakan
fitoplankton yang juga hidup di daerah terumbu karang tersebut.
3. Limbah
Pembuangan berbagai macam limbah yang
dibuang ke laut. Berbagai macam limbah domestik,
limbah industri dan pembuangan sisa pengolahan ikan yang langsung di buang ke
laut tentunya akan mencemari dan menurunkan kualitas laut. Pencemaran ini
tentunya akan merusak ekosistem laut.
4. Penggunaan
alat tangkap
Penggunaan
alat tanggap seperti cantrang dapat menghasilkan hasil tangkapan yang tidak selektif seperti menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta
biota lainnya.Biota yang dibuang akan mengacaukan data perikanan karena tidak
tercatat sebagai hasil produksi perikanan.Mengeruk dasar perairan dalam dan
pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi pemijahan biota
laut.Sumber daya ikan di perairan Laut Jawa mengalami degradasi dikarenakan
padatnya aktivitas penangkapan dari berbagai daerah.
Hasil Forum Dialog pada tanggal 24 April 2009
antara Nelayan Pantura dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, TNI-AL,
POLRI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menggambarkan kondisi Cantrang di Jawa Tengah, yaitu jumlah Kapal Cantrang pada tahun 2004 berjumlah 3.209 unit,
meningkat 5.100 unit di tahun 2007 dan pada tahun berjumlah 10.758 unit.
Sedangkan hasil tangkapan per unit (Catch Per-unit of Effort/CPUE) menurun dari
8,66 ton pada tahun 2004 menjadi 4,84 ton di tahun 2007.
Dikarenakan telah overfishing, para nelayan di
Pantai Utara Jawa tersebut mulai bergerak ke Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) lainnya. Pergerakkan ini bahkan telah tercatat sejak 1970.
C. AKSIOLOGI DALAM KAITANNYA PENGENDALIANNYA
AKIBAT POPULASI IKAN YANG SEMAKIN MEROSOT
1. ASPEK
SOSIAL EKONOMI
Efisiensi
ekonomi berbasis kegiatan :
-Menghilangkan
subsidi bagi pengadaan armada baru dan modernisasi kapal penangkap-Pengurangan
kapasitas perikanan; - Mentransfer hak/izin penangkapan sebagai suatu aset kebutuhan finansial;
Susilo (2003) di dalam kajiannya terhadap status keberlanjutan
perikanan tangkap di OKI Jakarta menyebutkan bahwa lapangan pekerjaan dan
pendapatan altematif di luar perikanan tangkap sangat sensitif terhadap status
keberlanjutan pelikanan tangkap. Makna dari pernyataan ini adalah bahwa
kebijakan yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di luar perikanan serta
altematif pendapatan harus diambil agar keberlanjutan pembangunan perikanan
tangkap dapat dipertahankan.
2. ASPEK LINGKUNGAN
Tingginya ketidakpastian pengelolaan penangkapan
telah menjadi salah satu penyebab hilangnya beberapa stok ikan. Karena itu
disarankan untuk melakukan penutupan fishing grounds guna mencegah
overeksploitasi dengan cara membuat batas maksimum volume tangkapan (upper limit
on fishing mortality). Marine protected areas (MPAs), dengan
kombinasi usaha kuat untuk menjaga area yang bisa dieksploitasi, telah
menunjukkan hasil positif untuk mengembalikan penurunan stok. Pada beberapa
kasus, MPAs telah berhasil digunakan untuk memproteksi spesies lokal,
memulihkan biomassa, dan sedikit menjaga populasi ikan di luarnya dengan
melepas ikan burayak (juvenile) atau ikan dewasa. Meskipun migrasi ikan
menjadi titik kelemahan dari MPA, namun tetap akan membantu memulihkan spesies
ikan dengan menghindarkan kerusakan akibat trawl, dan menurunkan
kematian ikan burayak. Penggunaan zona larangan-tangkap dalam MPAs akan menjadi
lebih efektif bila didukung dengan teknologi tinggi seperti monitoring
dengan satelit, yang saat ini digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Lebih lanjut, MPAs yang mencakup suatu habitat
laut mungkin juga akan mampu mencegah kepunahan stok ikan tertentu, mirip
dengan kehutanan dan habitat darat lainnya yang telah bisa menjaga spesies
liar. Hal ini akan menuntun kepada identifikasi pola reservasi yang akan
menjadi contoh di daerah perikanan terdekat, dan selanjutnya mempengaruhi
komunitas pantai dan masyarakat sekitarnya yang tertarik dalam reservasi sumber
daya ini.
Sekali lagi, bahwa
ikan hasil tangkapan dan populasi alami untuk menyuplai kebutuhan penduduk
dunia adalah tidak tak terbatas. Dengan demikian, sudah seharusnya usaha lain
difokuskan untuk mengembalikan populasi ikan alami yang turun drastis dengan
melakukan restoking besar-besaran dan mengurangi total kapasitas penangkapan.
Pengelolaan yang tepat terhadap ikan laut di alam akan menghasilkan kemajuan
yang berarti, tetapi sayangnya, hal ini membutuhkan pre-kondisi seperti
keinginan politik untuk meng- implementasikan perubahan-perubahan dan membuat
persetujuan antar negara untuk penggunaan laut secara bersama.
3. ASPEK TEKNOLOGI
Kebijakan
pembatasan alat tangkap dengan menetapkan besar lubang mata jaring. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan selektifitas alat tangkap, sehingga yang
tertangkap hanya spesies target saja,
sedang spesies lain dapat lolos keluar melalui lubang jaring tersebut. Contoh :
pada alat tangkap purse seine, jaring angkat, dan jala tebar. Kebijakan
diversifikasi alat tangkap. Dimaksudkan agar nelayan tidak bergantung pada
salah satu jenis alat tangkap saja, melainkan dapat memilih jenis alat tangkap
yang lain dengan spesies target yang berbeda.
Kegiatan bersifat generik :
v Pengembangan
kegiatan budidaya;
v Pengembangan
kegiatan pasca panen perikanan.
4. TATA KELOLA (PERATURAN)
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut
berkaitan erat dengan aspek penangkapan ikan berlebih.
v Pasal 61 mewajibkan negara pemilik garis
pantai untuk mempertahankan sumber daya alam di dalam ruang lingkup ZEE mereka
untuk menjauhkannya dari status terancam dan tereksploitas berlebihan.
v
Pasal 62 mengizinkan negara pemilik garis pantai untuk mendayagunakan
secara optimum sumber daya alam di ZEE tanpa melanggar pasal 61.
v Pasal 65 mengizinkan negara pemilik garis
pantai untuk melarang, membatasi, atau mengatur eksploitasi hewan laut.
Berdasarkan beberapa pengamat, penangkapan
ikan berlebih dapat dipandang sebagai tragedi kebersamaan
(tragedy of commons), yaitu sebuah konsep di mana kepemilikan bersama
justru menimbulkan kerugian bagi semua. Dalam hal ini, kepemilikan bersama
adalah sumber daya perairan. Melalui kepemilikan perseorangan, seperti privatisasi
sumber daya perairan dan budi
daya ikan, menurut mereka, dapat menjadi solusi.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap populasi ikan halibut
di British Columbia
memperlihatkan dampak positif setelah sebagian dari sumber daya perairan di
sana diprivatisasi.
Solusi lainnya adalah kuota penangkapan ikan
yang diberlakukan di mana nelayan hanya diizinkan untuk melabuhkan sejumlah
ikan. Kemungkinan lainnya adalah menerapkan "kawasan dilarang masuk",
di mana pada kawasan tersebut tidak boleh ada aktivitas penangkapan ikan komersial
dan pelayaran sipil.
Penerapan larangan masuk ini dapat berlangsung dalam batas waktu yang tidak
ditentukan atau hanya diterapkan pada waktu tertentu saja, misal pada saat ikan
berkembang biak.
Dari sisi penegakan hukum, pemerintah sudah
menyiapkan perakat hukum untuk menjerat pelaku pelanggaran baik pencurian ikan
maupun penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, diantaranya :
1. UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan
(Perubahan dari UU No. 31 tahun 2004)
Aturan Mengenai Pelarangan Pukat Hela
dan sebagainya bukanlah aturan baru yang serta merta dikeluarkan oleh Menteri
susi, Aturan tersebut keluar sebagai Amanah dari UU No 31 taHUN 2004 Tentang
Perikanan junto UU No 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan dimana dalam Pasal 9 Ayat (1) UU tersebut disebutkan: “Setiap orang dilarang memiliki,
menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di
kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia“.
2. UU No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi
ikan
3. UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Kawasan Pesisir, laut dan Pulau-pulau kecil.
Kegiatan kelembagaan :
v Peningkatan
efisiensi kelembagaan dalam pengelolaan perikanan;
v Implementasi
CCRF pada rencana pembangunan perikanan secara baik dan kontinu;
v Efisiensi
ekonomi dan kelembagaan pada kegiatan internasional;
No comments:
Post a Comment