Ada
dua
jenis kebijakan pemerintah yang dapat mencapai panen mapan yang optimal dan
jumlah usaha penangkapan ikan adalah pajak atas usaha panen dan kuota pada usaha dan panen Aktivitas penangkapan ikan secara berlebihan dapat menurunkan stok
ikan dan dapat mengurangi produksi secara perlahan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu
dibuat suatu kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan agar stoknya
tidak habis akibat dari overfishing. Alasan ekonomi dalam mengatur peraturan tentang perikanan sangatlah
jelas. beberapa kebijakan yang telah diberlakukan untuk meningkatkan efisiensi
ekonomi dalam hal ini lebih kepada faktor-faktor
produksi perikanan.
Jenis kebijakan pemerintah
agar dapat mengoptimalkan upaya penangkapan yaitu dengan memberlakukan sistem pajak
dan pembatasan penangkapan pada saat musim panen. Pada
saat penangkapan, perusahaan akan dikenakan pajak sesuai dengan hasil tangkapan
yang diperoleh, sehingga mengurangi pendapatan perusahaan. Setelah memberlakukan system moratorium panen
selama tiga tahun dengan memberlakukan pajak optimal pada saat panen akan
memungkinkan pulih dari penangkapan berlebih dan meminimalkan eksploitasi
dengan membatasi usaha yang ada.
Studi Kasus Penerapan Peraturan Perikanan di
Indonesia
1. Pelarangan
Cantrang
Cantrang merupakan alat penangkapan ikan
yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Cantrang
dioperasikan dengan menebar tali selambar secara melingkar, dilanjutkan dengan
menurunkan jaring cantrang, kemudian kedua ujung tali selambar dipertemukan.
Kedua ujung tali tersebut kemudian ditarik ke arah kapal sampai seluruh bagian
kantong jaring terangkat. Penggunaan tali selambar yang mencapai panjang lebih
dari 1.000 m (masing-masing sisi kanan dan kiri 500 m) menyebabkan sapuan
lintasan tali selambar sangat luas. Ukuran cantrang dan panjang tali selambar
yang digunakan tergantung ukuran kapal. Pada kapal berukuran diatas 30 Gross
Ton (GT) yang dilengkapi dengan ruang penyimpanan berpendingin (cold storage),
cantrang dioperasikan dengan tali selambar sepanjang 6.000 m. Dengan
perhitungan sederhana, jika keliling lingkaran 6.000 m, diperoleh luas daerah
sapuan tali selambar adalah 289 Ha. Penarikan jaring menyebabkan terjadi pengadukan
dasar perairan yang dapat menimbulkan kerusakan dasar perairan sehingga
menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem dasar bawah laut.
Setelah dilakukan pengukuran ulang, kapal dikelompokan
dalam tiga kategori, yaitu kapal berukuran dibawah atau < 10 GT, berukuran
antara 10 hingga 30 GT, dan diatas atau > 30 GT. Adapun kebijakan yang
ditetapkan untuk setiap kategori adalah sebagai berikut : 1. Kapal dibawah 10
GT, pemerintah memberikan bantuan alat penangkap ikan baru sebagai pengganti
alat penangkapan ikan yang dilarang, di antaranya jaring insang (gillnet),
pancing ulur (handline), rawai dasar, rawai hanyut, pancing tonda, pole and
line, bubu lipat ikan, bubu lipat rajungan, dan trammel net. 2. Kapal 10 30 GT,
KKP akan memberikan fasilitas permodalan untuk memperoleh kredit usaha rakyat.
3. Kapal diatas 30 GT, KKP akan memberikan fasilitas perizinan dan relokasi DPI
ke WPP 711 dan 718. 1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2/7 9-10-2017
Sementara itu, di beberapa daerah banyak alat tangkap yang mengalami
perkembangan, perubahan bentuk, model, serta cara pengoperasian.
Berbagai alat tangkap tersebut juga dikenal dengan sebutan
yang berbeda-beda. Meskipun demikian, alat tangkap tersebut tetap mengacu pada
salah satu kelompok alat tangkap ikan yang dilarang dalam Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 06/MEN/2010 tentang Alat
Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Jadi, meskipun namanya telah berubah menjadi cantrang, pada dasarnya tetaplah
pukat tarik yang telah dilarang. Adapun pengaturan penempatan alat tangkap
telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang
Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. **Biro Kerjasama dan Humas KKP
dan Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo
Adapun beberapa dampak yang ditimbulkan apabila cantrang dilanjutkan yaitu Hasil tangkapan tidak
selektif, menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya, Biota
yang dibuang akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai
hasil produksi perikanan, Mengeruk dasar perairan dalam dan pesisir tanpa
terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi pemijahan biota laut, Sumber daya
ikan di perairan Laut Jawa mengalami degradasi dikarenakan padatnya aktivitas
penangkapan dari berbagai daerah.
2.
Ilegal Fishing
Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik
penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek
dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran
hukum. Tindakan Illegal Fishing umumnya bersifat merugikan bagi sumber daya
perairan yang ada. Tindakan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang
kurang baik bagi ekosistem perairan, akan tetapi memberikan keuntungan yang
besar bagi nelayan. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan
penangkapan, dan termasuk ke dalam tindakan Illegal Fishing adalah penggunaan
alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti penangkapan dengan pemboman,
penangkapan dengan racun, serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah
karang.
Tindakan Illegal Fishing terjadi hampir di seluruh belahan
dunia. Illegal Fishing merupakan kejahatan perikanan yang sudah terorganisasi
secara matang, mulai di tingkat nasional sampai internasional. Dewasa ini,
tindakan Illegal Fishing telah berubah cara beroperasinya bila dibandingkan
dengan cara 31 beroperasi pada pertengahan tahun 1990-an. Tindakan Illegal
Fishing telah menjadi a highly sophisticated form of transnational organized
crime, dengan ciri-ciri antara lain kontrol pergerakan kapal yang modern dan
peralatan yang modern, termasuk tangki untuk mengisi bahan bakar di tengah
laut.
Menurut Rokhmin Dahuri, sampai tahun 2002 nilai kerugian
negara akibat tindakan Illegal Fishing mencapai angka US$1.362 miliar per
tahun.6 Secara umum tindakan Illegal Fishing yang terjadi di perairan
Indonesia, antara lain :7 1. Penangkapan ikan tanpa izin; 2. Penangkapan ikan
dengan menggunakan izin palsu; 3. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat
tangkap terlarang; dan 4. Penangkapan ikan dengan jenis (species) yang tidak
sesuai dengan izin. Tingginya angka tindakan Illegal Fishing di perairan Asia
Tenggara dan Pasifik serta kondisi overfishing yang mengancam keberlangsungan
sumber daya.
Faktor Penyebab Maraknya
Illegal Fishing :
Saat ini Illegal Fishing di Indonesia masih belum bisa
100% diberantas. Karena meskipun sudah ada Undang – Undang
yang mengatur tentang perikanan dan segala tindak pidananya bagi yang
melanggar, para pelaku illegal fishing masih terus melanjukan aksinya. Jika
ditinjau kembali, ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu tejadi. Salah satu diantaranya adalah kurang jelas dan
tegasnya isi dari UU nomor 31 Tahun 2004 yang mengatur tentang Perikanan. Dapat
dilihat pada Pasal 8 dan 9 dimana pelanggaran alat tangkap dan fishing ground
hanya dimasukkan dalam kategori pelanggaran dengan denda hanya Rp 250 juta. Hal
semacam itu, seharusnya masuk kategori pidana dengan sanksi lebih berat.
Seharusnya alat tangkapnya juga disita dan pengawasan pada fishing ground yang
dilindungi tersebut lebih ditingkatkan.
Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dan UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
dan perubahannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2010 Tentang Perikanan telah
tercantum kegiatan yang berhubungan dengan Illegal Fishing yaitu : 1) Pasal 7:
kewajiban setiap orang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana 12Ibid, h. 24. 38
ditetapkan oleh Menteri dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Faktor -faktor yang
menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan Indonesia tidak terlepas
dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang
memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu
sendiri. Secara garis besar faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan
menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pertama, Kebutuhan ikan dunia
(demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi overdemand
terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada perikanan
dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal.
Kedua, Disparitas (perbedaan)
harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia
cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.
Ketiga, Fishing ground di
negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia masih menjanjikan,
padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi mereka dan
harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan.
Keempat, Laut Indonesia sangat
luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan
nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk
mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia
dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut
lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan asing
maupun lokal untuk melakukan illegal fishing.
Kelima, Sistem pengelolaan
perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces),
pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini
kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya
ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
Keenam, Masih terbatasnya
sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan khususnya dari sisi
kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru terdapat 578
Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah Kapal) Kapal
Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum sebanding dengan
cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih diperparah dengan
keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
Ketujuh, Persepsi dan langkah
kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara tindak pidana
perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan
komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
Dampak Perikanan Ilegal :
Maraknya kegiatan perikanan ilegal yang terjadi di
perairan Indonesia tidak hanya memiliki dampak terhadap stok ikan nasional,
tetapi juga global. Hal ini akan menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan
meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Sedikitnya
terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah
memberi dampak serius bagi Indonesia :
Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan
mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang
tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya di bawah
standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated)
akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data
stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan
tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global.
Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan
mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi
nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya sumberdaya perikanan yang
seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari
praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan
harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000 – 2.000 per ton maka setiap
tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2 – 4 juta ton ikan.
Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan
tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan
pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan
mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha
penangkapan ikan.
Keempat,
perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan
perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan.
Kelima,
perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi
yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada
gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin
penangkapan yang sah.
Keenam,
baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan
ilegal memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas
penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya
potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Pada umumnya ikan
yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar
lainnya.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan
ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang
dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area bakau dirusak oleh
perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk
masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.
Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik
dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu
keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan
di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara
ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan
penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu
perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah
tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada
stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi
Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi
ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan
risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah
untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative
pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta
pemasaran hasil penangkapan ikan.
Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri
nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitas penangkapan ikan di pantai dan
pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.
Upaya Yang Telah Dilakukan Pemerintah Untuk Mengatasi Illegal Fishing :
Pertama, pemerintah telah menerapkan teknologi VMS
(Vessel Monitoring System), yaitu sistem pengawasan kapal yang berbasis
satelit. VMS digunakan untuk memonitor gerak kapal yang menyangkut posisi
kapal, kecepatan kapal, jalur lintasan (tracking) kapal serta waktu terjadinya
pelanggaran. Untuk mengimplementasikan
VMS telah dibangun Fishing Monitoring Center (FMC) di kantor pusat Departemen
Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Regional Monitoring Center (RMC) di
daerah Ambon dan Batam.
Kedua, pengawasan perikanan dilaksanakan oleh Pengawas
Perikanan yang bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang
– undangan di bidang perikanan. Pengawas Perikanan terdiri atas Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan dan non PPNS Perikanan. Adapun yang
dimaksud dengan non PPNS Perikanan adalah Pegawai Negeri Sipil lainnya di bidang
perikanan yang bukan penyidik, tetapi diberi kewenangan untuk melakukan
pengawasan.
Ketiga, untuk pengawasan langsung di lapangan terhadap
kapal – kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan
menggunakan kapal – kapal patroli, baik yang dimiliki oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan maupun bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan TNI
Angkatan Udara.
Keempat,
dengan membentuk Pokmawas (Kelompok Masyarakat Pengawas), yaitu pelaksana
pengawas di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh adat, LSM, nelayan – nelayan ikan, serta masyarakat kelautan dan
perikanan lainnya. Kinerja Pokmawas hanya sekadar melaporkan segala tindak
pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia.
DAFTAR
ISI
Keputusan Presiden No.39/1980
Keputusan Dirjen Perikanan No.
IK.340/DJ.10106/97
Keputusan Menteri KP No. 16/2010
Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No.2/2011
Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No.
08/2011
Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No 18/2013
Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No.
42/2014
Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No.
71/2016
Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995
International Plan of Action to Prevent, Deter and
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001.
Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing
Practices Including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing
in the Region 2007.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha
Perikanan .
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.05/MEN/2008 Tentang Usaha.
No comments:
Post a Comment