TUGAS PLANKTONOLOGI
BIOLUMINESCENCE
Oleh :
NAMA : NURJIRANA
NIM : L11112277
KELOMPOK
: C Ganjil
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN
PERIKANAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA
PENGANTAR
Assalamau
Alaikum Wr. Wb.
Puji
syukur kita haturkan kehadirat Allah Swt karena atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga saya dari kelompok C ganjil dapat menyelesaikan tugas makalah Planktonologi
Laut yang berjudul “Bioluminescence”.
Saya Menyadari bahwa Makalah ini tidak sepenuhnya
sempurna. oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan demi memperbaiki kesalahan yang ada. Semoga
makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Terima kasih.
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Maksud Dan Tujuan
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Bioluminescence
B.
Sejarah
Bioluminescence
C.
Faktor
Penyebab Terjadinnya Bioluminescence
D.
Peran
Bioluminescence Pada Organisme
E.
Organisme
Yang Memiliki Kemampuan Bioluminescence
F. Aplikasi Bioluminescence Dalam
Kehidupan Manusia
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa
jenis makhluk hidup dapat menerangi tempat gelap tanpa bantuan dari sinar
matahari. Kunang-kunang adalah organisme “bioluminescence” (organisme yang
mampu menghasilkan cahaya) yang selama ini paling dikenal, akan tetapi beberapa
spesies lain dari serangga, jamur, bakteri, ubur-ubur dan ikan bertulang juga
bisa bersinar. Mereka menggunakan reaksi kimia untuk bersinar di malam hari,
gua-gua dan laut dalam.
Organisme
bioluminescence tersebar di dalam pohon kehidupan, meskipun pada tanaman
berbunga dan beberapa hewan dengan tulang belakang tidak memiliki kemampuan
ini. Peneliti percaya kemampuan bioluminescence ini telah berevolusi
secara independen dalam jumlah yang banyak.
Sebuah
pameran terbaru mengenai bioluminescence di American Museum of Natural History New
York, secara resmi memperkirakan bioluminescence telah berevolusi sedikitnya 50
kali dan
ada
kemungkinan lebih banyak.
B. Maksud dan Tujuan
1. Sebagai
pengetahuan tambahan untuk mengetahui apa itu bioluminescence
2. Mengetahui
sistem kerja bioluminescence
3. Menambah
wawasan tentang organisme yang mampu melakukan bioluminescence
4. Mampu
mendeskripsikan peristiwa yang terjadi dialam yang berhubungan dengan proses
biolomenescence.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bioluminescence
Bioluminescence adalah
emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia
tertentu. Hingga saat ini, bioluminesensi telah ditemukan secara alami pada
berbagai macam makhluk hidup seperti cendawan,
bakteri,
dan organisme di perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata
terestrial, amfibi,
dan mamalia.
Sebagian besar plankton
memiliki kemampuan menghasilkan pendaran,
terutama plankton
yang hidup di perairan laut dalam.
B.
Sejarah
Bioluminescence
Tulisan
tertua tentang bioluminesensi dibuat 2500 tahun yang lalu oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul "Tentang Warna". Aristoteles menyebutkan bahwa ada sesuatu
yang secara alami seperti bagian kepala ikan dan tinta dari sotong
yang dapat menghasilkan cahaya atau pendaran.
Pada
tahun 1887, Raphaël Dubois berhasil mengisolasi
lusiferin (substrat untuk reaksi bioluminesensi) dan enzim lusiferase (ketalis) dari piddock, sejenis remis
laut.Temuan tersebut dipopulerkan dan dilanjutkan oleh Edmund Newton Harvey
yang menyatakan bahwa senyawa lusiferin dan lusiferase yang ditemukan pada
berbagai spesies makhluk hidup tidak dapat ditukar.
Pada
tahun 1967, Robert Boyle, seorang ilmuwan dari Inggris
mempublikasikan penelitiannya tentang reaksi bioluminesensi pada fungi yang memerlukan udara.Laporan berikutnya menyebutkan
bahwa oksigen
merupakan komponen udara yang berperan dalam reaksi tersebut.
Penelitian
tentang bioluminesensi berkembang pesat setelah Osamu Shimomura, seorang ahli biologi kelautan dan kimia organik, berhasil meneliti tentang protein
yang bertanggungjawab dalam menghasilkan luminesensi pada spesies ubur-ubur Aequorea victoria yang disebut dengan aequorin.[3]
Protein tersebut akan berikatan dengan ion kalsium dan
menghasilkan cahaya biru yang diserap oleh protein
berpendar hijau ubur-ubur.
Pada tahun 1985, aequorin berhasil dikloning ke dalam makhluk hidup lainnya dan
sejak itu aplikasi bioluminesensi mulai banyak diteliti.
C.
Faktor
penyebab Terjadinnya Bioluminescence
Peristiwa terjadinya bioluminescence
merupakan peristiwa yang terjadi akibat kerja enzim didalam tubuh organisme.hal
tersebut dikarenakan beberapa enzim yang system kerjanya menghasilkan cahaya.
Banyak bakteri
yang dapat menghasilkan bioluminesensi, umumnya diketahui kemudian bahwa
seluruh bakteri tersebut tergolong ke dalam bakteri gram negatif,
motil,
memiliki morfologi batang, dan bersifat aerob
atau anaerob
fakultatif. Bakteri-bakteri itu tersebar di daerah lautan,
perairan tawar, dan tanah (terestrial).
Contoh bakteri penghasil bioluminesensi yang telah diteliti adalah genus Vibrio
(V. harveyi, V. fischeri, V. cholera), Photobacterium
(P. phosphoreum, P. leiognathi), Xenorhabdus
(X. luminescens), Alteromonas
(A. haneda), dan Shewanella. Sementara itu,
hanya sedikit cendawan
yang diketahui dapat menghasilkan bioluminesensi, di antaranya adalah Armillaria
mellea, Panellus
Stipticus, Omphalotus
nidiformis, dan Mycena
spp.
D.
Peran Bioluminescence Pada Organisme
·
Sinyal Kawin
Berbagai
spesies kunang-kunang memanfaatkan bioluminesensi sebagai sinyal kawin. Setiap spesies memiliki pola dan warna pendaran yang
berbeda. Umumnya, kunang-kunang jantan yang terbang
rendah akan memulai memancarkan pendaran untuk menarik perhatian lawan
jenisnya. Selanjutnya, dalam kurun waktu tertentu kunang-kunang betina akan
membalas sinyal tersebut dengan pola pendaran spesifik yang berbeda. Salah satu
kunang-kunang dari genus Photuris dapat meniru
dan menghasilkan pendaran yang sama seperti yang dimiliki spesies kunang-kunang
lainnya.Akibatnya pejantan atau betina dari spesies lain dapat salah mengenali
dan mendekati Photuris. Hal ini dimanfaatkan Photuris untuk memangsa
spesies kunang-kunang lainnya. Seperti halnya kunang-kunang, sejenis cacing di
lautan Bermuda
yang disebut Odontosyllis enopla juga menggunakan bioluminesensi untuk menarik
pasangannya. Cacing betina akan mengeluarkan lendir berpendar untuk menarik
pejantan.
Ketika cacing jantan datang, cacing betina akan mengeluarkan telur dan
jantannya akan mengeluarkan sperma untuk melakukan fertilisasi.
·
Predasi
Selain
sebagai mekanisme pertahanan, bioluminesensi pada makhluk hidup juga banyak
dimanfaatkan untuk memburu mangsa (predasi), di antaranya adalah ikan angel dan hiu Isistius brasiliensis yang menggunakan
luminesensi untuk menarik mangsa mendekat. Hiu I. brasiliensis memiliki bagian bawah rahang yang berpendar dan tampak
seperti siluet yang dihasilkan dari penyamaran dengan sinar, akibatnya cumi dan
ikan akan mendekat karena mengira siluet tersebut merupakan penyamaran dari
mangsa mereka. Setelah cumi atau ikan mendekati rahangnya, akan lebih mudah untuk
hiu ini dalam menangkap makanannya.Hal serupa juga dilakukan oleh paus
sperma (Physeter macrocephalus) yang secara intensif menghasilkan
pendaran saat berburu mangsa di perairan laut dalam yang gelap. Mangsa yang
berupa cumi-cumi akan datang mendekati bagian mulut paus sperma yang berpendar
dan saat itulah paus ini menangkap mangsanya.
·
Perlindungan
Terhadap Pemangsa.
Setiap
makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang
berbeda-beda.Sebagian makhluk hidup memanfaatkannya untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur,
dan beberapa jenis cumi-cumi yang berpendar untuk mengejutkan predator yang
mendekatinya sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan diri dari
predator.
Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan
menggunakan pendaran untuk melakukan kamuflase
dalam menghindari predator. Mekanisme pertahanan seperti ini disebut dengan
penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu makhluk hidup
tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di lingkungan perairan.
Pada spesies bintang ular laut, cacing laut, dan
organisme bioluminesensi di daratan, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang
disebut aposematisme, yaitu
menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk tersebut memiliki toksik
(beracun) atau tidak enak dimakan sehingga predator akan menghindarinya.
Pendaran pada larva kunang-kunang juga merupakan salah satu bentuk aposematisme yang melindunginya dari
predator karena akan dikenali sebagai makanan yang tidak enak atau tidak
menguntungkan..
Beberapa
organisme di laut takut untuk memakan zooplankton karena sebagian besar zooplankton memiliki pendaran yang tetap dapat
terlihat saat mereka berada di dalam perut pemangsanya.Akibatnya organisme yang
memakan zooplankton tampak berpendar dan ini membuatnya mudah dikenali dan
diburu oleh predator yang lebih tinggi tingkatannya. Fenomena ini terlihat pada
peristiwa dinoflagelata yang menjadi makanan udang misid. Udang
tersebut akan tampak berluminesensi karena di dalam tubuhnya terdapat
dinoflagelata berpendar sehingga ikan Porichthys notatus dapat lebih mudah memburu dan memakan udang itu.
E.
Organisme
yang Memiliki Kemampuan Bioluminescence
·
Plankton
·
Ikan
·
Gurita
·
Hewan karang
F.
Sistem
Kerja Biolominescence Pada Organisme
·
Bakteri
Reaksi
yang terjadi bersifat spesifik dan dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2) (lusiferin bakteri) serta
rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim
lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit,
yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β). Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA,
sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan oleh gen luxB. Selain luciferase, masih
terdapat beberapa enzim lain yang terlibat dalam keseluruhan reaksi ini dan
ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut
operon lux.
Enzim lusiferase akan
mempergunakan substrat senyawa aldehida yang disintesis di dalam sel dengan bantuan multienzim yang disebut
kompleks enzim aldehida lemak reduktase (fatty aldehyde reductase complex).
Kompleks enzim ini terdiri dari tiga subunit enzim yaitu redutase, transferase,
dan sintetase yang masing-masing disandikan oleh gen luxC, luxD,
dan luxE. Subunit transferase akan mengkatalisis
pemindahan grup lemak asil yang teraktivasi ke air, oksigen, dan akseptor tiol. Kedua
subunit lainnya, yaitu reduktase (~54 kDa) dan sintetase (~42 kDa)akan
mengkatalisis reduksi senyawa asam lemak menjadi aldehida dengan reaksi sebagai
berikut :
RCOOH
+ NADPH + ATP --> RCHO + NADP + AMP + PPi.
Komponen sistem bioluminesensi
lainnya adalah flavoprotein yang
disandikan oleh gen luxF. Protein ini hanya ditemukan pada Photobacterium dan fungsinya belum diketahui tetapi dari
sekuens asam aminonya, diketahui bahwa protein ini homolog dengan lusiferase. Pada
bakteri juga ditemukan luxG yang diduga memiliki peranan dalam reaksi
bioluminesensi untuk bakteri yang hidup di lingkungan perairan. Khusus untuk V. harveyi, juga ditemukan luxH yang berperan dalam
sistem luminesensinya. Operon lux bekerja dibawah pengaruh protein
regulator yang berupa protein reseptor (luxR) dan autoinduser (luxI). Selain protein-protein yang disandikan oleh operon lux, masih terdapat 4 protein lain yang memengaruhi reaksi bioluminesensi, yaitu lumazine, protein fluoresensi kuning, flavin reduktase, dan aldehida dehidrogenase. Lumazine yang ditemukan pada Photobacterium dan Vibrio berfungsi memperpendek panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm), sedangkan protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang cahaya menjadi 540 nm pada V. fischeri sehingga cahaya yang diemisikan mengalami perubahan warna. Flavin reduktase dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2 sehingga substrat tersedia terus-menerus karena diregenerasi. Yang terakhir adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam degradasi senyawa aldehida.
·
. Dinoflagellata
Pada dinoflagelata, substrat lusiferin yang berperan adalah tetrapirol
yang mirip dengan klorofil namun berbeda pada ion metalnya. Struktur lusiferin yang seperti hampir sama juga ditemukan pada
sejenis udang yang bergenus euphausiid. Pada
salah atu genus dinoflagelata yaitu Gonyaulax,
diketahui bahwa pada pH 8 molekul lusiferinnya akan berikatan dan dilindungi
oleh protein pengikat lusiferin. Namun begitu terjadi perubahah pH menjadi ± 6,
luciferin akan mengalami perubahan konformasi dan mengakibatkan sisi aktinya
bebas dan dihasilkan pendaran cahaya.
Struktur
coelenterazine.
a. Coelenterazin
Coelenterazine adalah jenis lusiferin dengan struktur imidazopyrazinone yang sangat banyak ditemukan pada makhluk hidup,
terutama di lingkungan perairan. Telah diketahui bahwa ada 6 filum makhluk hidup yang menggunakan lusiferin jenis ini, di antaranya adalah kopepoda, radiolaria, ctenophore, cnidarian, cumi, serta beberapa jenis ikan dan udang. Selain lusiferase, lusiferin
jenis ini memiliki fotoprotein yang disebut aequorin untuk membantu
penghasilan emisi cahaya.
Struktur lusiferin ostracod
b. Ostracod
Substrat lusiferin pada ostracod (sejenis udang-udangan) berhasil dikristalisasi dan dikarakterisasi pertama kali pada tahun 1957. Lusiferin jenis ini banyak terdapat pada genus Cypridina dan Vargula, serta beberapa jenis ikan. Para peneliti menyatakan bahwa lusiferin ostracod disintesis dari asam amino triptofan, arginin, dan isoleusin namun jalur metabolisme pembuatannya masih belum diketahui. Diperkirakan bahwa mekanisme reaksi luminesensi pada beberapa ikan tergantung dari makanannya. Beberapa jenis ikan dapat berhenti berpendar apabila kekurangan makanan.
· Kunang-kunang
Berbagai spesies kunang-kunang memanfaatkan bioluminesensi sebagai sinyal kawin. Setiap spesies memiliki pola dan warna pendaran yang berbeda. Umumnya, kunang-kunang jantan yang terbang rendah akan memulai memancarkan pendaran untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Selanjutnya, dalam kurun waktu tertentu kunang-kunang betina akan membalas sinyal tersebut dengan pola pendaran spesifik yang berbeda
Kunang-kunang (Photuris) menggunakan substrat berupa D-lusiferin untuk menghasilkan pendaran.D-lusiferin akan mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan bantuan energi dari ATP sehingga dihasilkan emisi cahaya. Kunang-kunang juga memiliki enzim khusus yang dapat meregenerasi oksilusiferin menjadi D-lusiferin yang dapat digunakan kembali sebagai substrat. Selain D-lusiferin, senyawa L-lusiferin diketahui juga dapat menjadi substrat bagi kunang-kunang untuk menghasilkan pendaran.
a.
Apikasi Biolominescence dalam Kehidupan Manusia
Adanya penemuan tentang
bioluminesensi telah dimanfaatkan manusia di dalam berbagai bidang, salah
satunya adalah bidang medis. Di bidang tersebut bioluminesensi dimanfaatkan
untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang disebut bioluminescence
imaging (BLI).Dengan BLI,
ukuran dan lokasi sel kanker dalam tubuh dapat diketahui sehingga tindakan
perawatan yang tepat dapat ditentukan. Temuan ini juga dapat mempermudah riset
mengenai perawatan atau obat kanker yang efektif dapat mengatasi penyakit
tersebut karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah. Selain itu, bioluminesensi juga telah
dimanfaatkan sebagai gen pelapor untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca
manusia. Penggunaan bioluminesensi sebagai gen pelapor juga telah diaplikasikan
pada tanaman
transgenik hasil rekayasa
genetika. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan gen dari
kunang-kunang pada tanaman tembakau transgenik yang
diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens untuk mengamati ekspresi dari gen yang dimasukkan ke tanaman tembakau tersebut. Dalam bidang ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga
dapat digunakan untuk pembuatan biosensor untuk mendeteksi keberadaan polutan atau
kontaminan tertentu di lingkungan. Salah satu contoh yang telah diaplikasikan
adalah pembuatan biosensor untuk deteksi senyawa ekotoksik organotin. Dalam industri makanan, bioluminesensi yang memanfaakan penggunaan ATP juga telah
dimanfaatkan untuk mendeteksi mikroba patogen yang terkandung di dalam makanan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
materi diatas, maka saya dapat menyimpulkan bahwa bioluminescence merupakan
emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia
tertentu. Hingga saat ini, bioluminesensi telah ditemukan secara alami pada
berbagai macam makhluk hidup seperti cendawan,
bakteri,
dan organisme di perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata
terestrial, amfibi,
dan mamalia.
Sebagian besar plankton
memiliki kemampuan menghasilkan pendaran,
terutama plankton
yang hidup di perairan laut dalam.pada hewan umumnya digunakan sebagai sinyal
kawin, predasi, dan perlindungan terhadap pemangsa.
Adanya penemuan
tentang bioluminesensi telah dimanfaatkan manusia di dalam berbagai bidang,
salah satunya adalah bidang medis. Di bidang tersebut bioluminesensi
dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker
dalam tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang disebut bioluminescence
imaging (BLI).Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel kanker dalam tubuh
dapat diketahui sehingga tindakan perawatan yang tepat dapat ditentukan.
B. Saran
Peristiwa
bioluminescence disekitar kita sangat sering dijumpai, khususnya diwilayah
perairan laut. Dan sejauh ini telah diketahui penyebab dari hal tersebut,
meskipun demikian masih banyak hal – hal yang belum dikaji terkait tentang
peristiwa bioluminescence. Sehingga diharapkan agar kedepannya lebih banyak
penelitian yang dilakukan untuk lebih menambah wawasan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment