Iklan

Thursday, February 6, 2020

CODE OF CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES


INTEGRATION OF FISHERIES INTO COASTAL AREA MANAGEMENT (INTEGRASI PERIKANAN KEDALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR)
PENDAHULUAN
  

Negara Indonesia terdiri atas 17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan Luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta Km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta Km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta Km2. Fakta tersebut menunjukkan bahwa prospek pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia dinilai sangat cerah dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis. Sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut (Barani, 2004).
Isu strategis dan permasalahan umum yang menjadi kendala utama dalam mewujudkan kegiatan perikanan berkelanjutan di Indonesia adalah: 1) pengelolaan perikanan (fisheries management); 2) penegakan hukum (law enforcement); dan 3) pelaku usaha perikanan. Masih lemahnya sistem pengelolaan perikanan merupakan isu strategis dan permasalahan umum yang pokok dalam mewujudkan sektor perikanan berkelanjutan di Indonesia. Hal ini telah diindikasikan dengan tidak meratanya tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah Indonesia. Sebagai contoh untuk perikanan tangkap, banyak perairan laut di kawasan barat dan tengah Indonesia sudah menunjukkan gejala padat tangkap (overfishing), seperti Selat Malaka, perairan timur Sumatera, Laut Jawa, dan Selat Bali. Sementara, di perairan laut kawasan timur Indonesia, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal atau masih underfishing. Akibatnya, pada daerah-daerah penangkapan ikan tertentu yang mengalami over-exploitation, nelayan-nelayannya umumnya menjadi miskin, karena sulit mendapatkan ikan hasil tangkapan. Selain itu pula, sangat rawan terjadinya konflik antar nelayan di perairan tersebut. Disisi lain, pada daerah-daerah penangkapan ikan yang tingkat pemanfaatannya belum optimal atau underfishing, sumber daya ikan yang bernilai tersebut terkesan dibuang begitu saja, bahkan di beberapa perairan, yang memanfaatkannya adalah kapal-kapal perikanan illegal dari negara lain.
Hal tersebut di atas merupakan suatu permasalahan yang tengah dihadapi oleh perikanan Indonesia, maka berdasarkan hal tersebut perlunya dibuat suatu kebijakan terkait pemanfaatan wilayah pesisir itu sendiri dengan mempertimbangkan berbagai aspek sehingga terjadi keberlangsungan pengelolaan perikanan yang khususnya mempertimbangakan aspek lingkungan sebagai penunjang ekosistem perairan dalam menjamin keberlangsungan hidup biota perairan untuk dimanfaatkan dalam hal memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal kebutuhan protein hewani.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai integrasi perikanan ke wilayah pesisir dalam hal kebijakan dan pengelolaannya terkait keberlangsungan sumberdaya perikanan agar terkelolah dengan baik sehingga dapat mencegah menurunnya produksi di bidang kelautan dan perikanan dengan tetap menjaga ekosisem dari biota perariran.
PEMBAHASAN

A.    Tatalaksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Conduct For Responsible Fisheries)

Data FAO menunjukkan bahwa ikan untuk konsumsi manusia mengambil porsi 18% dari protein hewani; nilai perdagangan ikan dunia lebih dari 50 Milyar USD per tahun; produksi total 117 juta ton per tahun (74% penangkapan dan sisanya budidaya). Isyu penting yang dihadapi perikanan dunia meliputi: ketersediaan pangan untuk manusia; mata pencaharian untuk nelayan dan pembudidaya kecil; konservasi dan manajemen sumberdaya; overfishing (lebih tangkap) dan over capacity (kapasitas berlebih); degradasi lingkungan; dan ikan yang dibuang (discard).
a. Menetapkan azas sesuai dengan hukum (adat, nasional, dan international), bagi penangkapan ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggung jawab.
b. Menetapkan azas dan kriteria kebijakan,
c. Bersifat sebagai rujukan (himbauan),
d. Menjadiakan tuntunan dalam setiap menghadapi permasalahan,
e. Memberi kemudahan dalam kerjasama teknis dan pembiayaan,
f.  Meningkatkan kontribusi pangan,
g. Meningkatkan upaya perlindungan sumberdaya ikan,
h. Menggalakan bisnis Perikanan sesuai dengan hukum
i. Memajukan penelitian,

2.  Topik yang diatur dalam Tatalaksana ini adalah

a. Pengelolaan Perikanan;
b. Operasi Penangkapan;
c. Pengembangan Akuakultur;
d. Integrasi Perikanan ke Dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir;
e. Penanganan Pasca Panen dan Perdagangan
f. Penelitian Perikanan.

3. Prinsip-prinsip Umum Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

a. Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk melaksanakan hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin keberhasilan upaya konservasi dan pengelolaannya;
b. Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya untuk mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber-sumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang;
c. Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya;
d. Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolaan sumber-sumber perikanan serta habitatnya;
e. Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) seluas-luasnya;
f. Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan keanekaragaman jenis dan populasinya;
g. Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan, dan pendistribusiannya harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya;
h. Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan direhabilitasi;
i. Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-­sumber perikanannya kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir;
j. Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan penegakan hukum di bidang konservasi sumber-sumber perikanan;
k. Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin pelaksanaan tata laksana ini secara efektif;
l. Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik di dalam maupun di luar wilayah yurisdiksinya;
m. Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;
n. Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak, dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization (WT-0);
o. Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang relevan;
p. Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka di dalam proses pengambilan keputusan;
r. Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional;
s. Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan kecil dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan kerja, sumber penghasilan, dan keamanan pangan;
t. Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan.

4. Kewajiban Mengikuti Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

a. Semua Negara yang memanfaatkan sumberdaya ikan dan lingkungannya.
b. Semua Pelaku Perikanan (baik penangkap dan prosesing).
c.Pelabuhan-Pelabuhan Perikanan (kontruksi, pelayanan, inspeksi, dan pelaporan);
d. Industri disamping harus menggunakan alat tangkap yang sesuai.
e. Peneliti untuk pengembangan alat tangkap yang selektiv.
f. Observer program (pendataan diatas kapal).
g.Perikanan rakyat, perlu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan dan penggunaan energi yang efisien.
Kewajiban Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Yang Harus Dipenuhi Oleh :
1. Negara
a.    Mengambil langkah precautionary (hati-hati) dalam rangka melindungi atau membatasi penangkapan ikan sesuai dengan daya dukung sumber.
b.    Menegakkan mekanisme yang efektif untuk monitoring, control, surveillance dan law enforcement .
c.     Mengambil langkah-langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari.
2. Pengusaha
a.    Supaya berperan serta dalam upaya-upaya konservasi, ikut dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi pengelolaan perikanan (misalnya FKPPS).
b.    Ikut serta mensosialisasi dan mempublikasikan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan serta menjamin pelaksanaan peraturan.
c.     Membantu mengembangkan kerjasama (lokal, regional) dan koordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan perikanan, misalnya menyediakan kesempatan dan fasilitas diatas kapal untuk para peneliti.
3. Nelayan
a.    Memenuhi ketentuan pengelolaan sumberdaya ikan secara benar.
b.    Ikut serta mendukung langkah-langkah konservasi dan pengelolaan.
c.     Membantu pengelola dalam mengembangkan kerjasama pengelolaan, dan berkoordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan perikanan.

Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12 juta ton per tahun. Namun demikian, telah terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya.Di sebagian wilayah telah terjadi gejala tangkap lebih (over fishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka, sedangkan di sebagian besar wilayah timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari.
Manajemen perikanan tangkap di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara kelompok pertama, namun berada di atas sedikit dari negara-negara kelompok kedua yang notabene pelaku illegal fishing di Indonesia. Apabila tidak ada perbaikan manajemen, maka dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan Malaysia dan Thailand yaitu stock ikan habis dan nelayan mencuri ikan di negara lain. Indikator terjadinya over fishing dan over capacity saat ini sudah semakin jelas. Over fishing adalah penangkapan yang melebihi tingkat kelestarian sedangkan over capacity adalah kapasitas penangkapan (modal, upaya, hari melaut) yang makin tinggi namun hasil makin menurun. Indikatornya meliputi:
1) makin langkanya jenis ikan tertentu di suatu kawasan (misalnya Kakap Merah di Laut Arafura);
2) nelayan artisanal makin sulit mendapatkan ikan di jalur dekat pantai; 3) CPUE makin menurun (misalnya hook rate Tuna menurun drastis); 
4) makin lamanya hari operasi melaut untuk menangkap ikan (terjadi di semua kapal saat ini);
5) ukuran ikan yang ditangkap makin kecil;
6)usaha penangkapan ikan makin merugi. Parahnya kondisi tersebut tidak lain disebabkan oleh Kebijakan dan regulasi pelaksanaan yang tidak jelas, tidak mengacu kepada CCRF dan tidak berorientasi kepada masa depan kelestarian sumber daya serta tidak berpihak kepada nelayan dan nasib rakyat kecil.

1. Penangkapan ikan berlebih (overfishing)

Penangkapan ikan berlebih adalah salah satu bentuk eksploitasi berlebihan terhadap populasi ikan hingga mencapai tingkat yang membahayakan. Hilangnya sumber daya alam, laju pertumbuhan populasi yang lambat, dan tingkat biomassa yang rendah merupakan hasil dari penangkapan ikan berlebih, dan hal tersebut telah dicontohkan dari perburuan sirip hiu yang belebihan dan mengganggu ekosistem laut secara keseluruhan. Kemampuan usaha perikanan menuju kepulihan dari jatuhnya hasil tangkapan akibat hal ini tergantung pada kelentingan ekosistem ikan terhadap turunnya populasi. Perubahan komposisi spesies di dalam suatu ekosistem dapat terjadi pasca penangkapan ikan berlebih di mana energi pada ekosistem mengalir ke spesies yang tidak ditangkap. Dampak penangkapan ikan berlebih secara tidak langsung adalah mengurangi pendapatan nelayan sehingga sebagian beralih profesi. Di Laut China Timur, nelayan beralih profesi dari perikanan tangkap ke budi daya perairan, pemrosesan ikan, dan wisata bahari setelah hasil tangkapan lokal menurun.
Kerusakan yang ditimbulkan dengan adanya penangkapan berlebihan yaitu :
a.  Kerusakan berdasarkan populasi ikan
Umumnya ikan ditangkap ketika sudah mencapai ukuran tubuh tertentu, dan ikan berukuran kecil tidak tertangkap oleh jaring atau dilepaskan oleh nelayan. Ikan yang ditangkap berlebih berdasarkan ukuran tubuh akan menyebabkan ikan yang tersisa di populasi merupakan ikan berusia muda yang masih jauh dari tahap kematangan seksual sehingga sulit bagi populasi untuk mengembalikan populasi. Hal ini akan menjadikan tangkapan berikutnya menjadi lebih sedikit, sehingga peraturan dilonggarkan untuk menjaga pendapatan nelayan.
b.  Kerusakan berdasarkan ekosistem
Penurunan populasi terjadi ketika penangkapan ikan berlebih mempengaruhi keseimbangan ekosistem, misal dengan menghabisi satu tingkatan trofik tertentu sehingga tingkatan trofik di atasnya tidak mendapatkan mangsa. Contoh lainnya adalah penangkapan ikan tuna berlebih yang menyebabkan populasi ikan kecil seperti ikan teri mengalami peningkatan.
Contoh kasus
a.    Di Peru, penurunan hasil tangkapan jatuh pada tahun 1970an akibat penangkapan ikan berlebih dari gangguan cuaca oleh El Niño. Ikan teri dulunya merupakan sumber daya alam yang utama bagi Peru dengan hasil tangkapan lebih dati 10 juta metrik ton per tahun, namun setelah tahun 1971 jumlahnya terus menurun hingga hanya 4 juta metrik ton per tahun.
b.    Di pulau Newfoundland, Kanada, populasi ikan kod mengalami penurunan drastis. Di tahun 1992, Kanada mengeluarkan moratorium yang melarang penangkapan ikan di wilayah tersebut hingga waktu yang tidak ditentukan.
c.     Berbagai ikan demersal laut dalam seperti Hoplostethus atlanticus, Dissostichus eleginoides, dan Anoplopoma fimbria berada dalam kondisi terancam karena penangkapan ikan berlebih. Ikan laut dalam merupakan jenis ikan yang sangat lambat pertumbuhan dan laju reproduksinya. Ikan jenis ini baru mencapai tahap kematangan seksual pada usia 30 atau 40 tahun. Ikan laut dalam juga berada di perairan internasional yang tidak dilindungi oleh peraturan negara manapun. Ikan laut dalam semakin diincar sejak ditemukannya teknologi pendingin yang dapat dibawa hingga ke laut bebas.
Selain karena overcapacity, perubahan lingkungan diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan drastis stok ikan di Laut Atlantik Utara atau di dunia seperti yang dilaporkan dalam pertemuan ahli biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London [5]. Perubahan lingkungan yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu permukaan laut. Ekosistem laut, khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh dampak fluktuasi kondisi alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek penelitian Global Ocean Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil mengidentifikasi mekanisme alam yang mengatur dinamika populasi dan produktivitas laut. Mereka menduga bahwa penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai akibat dari kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade terakhir.
Para ahli eko-biologi GLOBEC telah menemukan respon biologi terhadap perubahan lingkungan dalam ekosistem laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa perubahan biologis dalam 10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap kelimpahan sumberdaya alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan kekuatan angin terhadap rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan dan kegagalan dalam memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok ikan cod di Newfoundland, Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan) menunjukkan bahwa faktor lain selain penangkapan telah berperan besar dalam menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Oleh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan berkelanjutan, penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa yang diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab, bila kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan iklim dan faktor lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing, juga diyakini sebagai penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu bahwa variasi iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya ikan-ikan yang hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan burayak telah diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan. Informasi ini telah terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan untuk menentukan kuota penangkapan yang optimal.
Kerusakan habitat ikan terhadap terumbu karang di laut. Perusakan terumbu karang ini dilakukan dengan cara pengeboman dalam usaha untuk menangkap ikan sebanyak – banyaknya oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan juga penggunaan racun potasium. Tidak hanya itu, tindakan yang merusak biota laut ini juga dilakukan dengan cara mengeksploitasi terumbu karang untuk digunakan sebagai pondasi bangunan dan juga mengeoploitasi hasil laut yang tidak teratur. Pengeksploitasian batu karang yang banyak digunakan untuk bahan bangunan juga menjadi salah satu fakor yang menyebabkan kerusakan ekosistem yang terjadi di laut.  Penambangan pasir pantai yang dilakukan manusia untuk di jadikan sebagai bahan bangunan. Hal ini tentu memicu kerusakan ekosistem laut yang menjadi daerah asuhan bagi beberapa jenis ikan.
Dengan rusaknya terumbu karang, tentunya juga akan merusak biota laut.   Terumbu karang merupakan tempat dimana hidupnya ribuan jenis ikan yang menggantungkan hidupnya dengan memakan fitoplankton yang juga hidup di daerah terumbu karang tersebut.
4.   Limbah
Pembuangan berbagai macam limbah yang dibuang ke laut. Berbagai macam limbah domestik, limbah industri dan pembuangan sisa pengolahan ikan yang langsung di buang ke laut tentunya akan mencemari dan menurunkan kualitas laut. Pencemaran ini tentunya akan merusak ekosistem laut.
5.   Penggunaan alat tangkap
Penggunaan alat tanggap seperti cantrang dapat menghasilkan hasil tangkapan yang tidak selektif seperti menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya.Biota yang dibuang akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan.Mengeruk dasar perairan dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi pemijahan biota laut.Sumber daya ikan di perairan Laut Jawa mengalami degradasi dikarenakan padatnya aktivitas penangkapan dari berbagai daerah.
Hasil Forum Dialog pada tanggal 24 April 2009 antara Nelayan Pantura dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, TNI-AL, POLRI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggambarkan kondisi Cantrang di Jawa Tengah, yaitu jumlah Kapal Cantrang  pada tahun 2004 berjumlah 3.209 unit, meningkat 5.100 unit di tahun 2007 dan pada tahun berjumlah 10.758 unit. Sedangkan hasil tangkapan per unit (Catch Per-unit of Effort/CPUE) menurun dari 8,66 ton pada tahun 2004 menjadi 4,84 ton di tahun 2007.
Dikarenakan telah overfishing, para nelayan di Pantai Utara Jawa tersebut mulai bergerak ke Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) lainnya. Pergerakkan ini bahkan telah tercatat sejak 1970.
D.   Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di Indonesia
Sasaran dari integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir yaitu mengembangkan penelitian dan pengkajian sumberdaya ikan di kawasan pesisir beserta tingkat pemanfaatannya. Terkait hal tersebut telah dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai potensi dan penangkapan komoditas perikanan yang tertuang kedalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47 Tahum 2016 tentang Potensi, Jumlah Tangkapan Yang diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.





  
Sampai saat ini pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumber daya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalah pembagian daerah perairan Indonesia menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan. Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi, padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudera Hindia. Tuna ini seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang masuk WPP Laut Jawa.Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya dengan kondisi stok ikan di perairan Indonesia.
Kemampuan menduga jumlah populasi ikan (stock assessment) secara akurat sangat ditentukan ketersediaan informasi dan data yang tepat. Hal ini sudah menjadi perhatian para peneliti maupun pengambil kebijakan di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun, penentuan jumlah tangkap maksimum lestari (maximum sustainable yield) atau yang lazim dikenal dengan MSY perlu disikapi hati- hati. Berbagai asumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak valid lagi.
Salah satu contoh adalah faktor teknologi yang berkembang dengan pesat sehingga kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catch per unit effort/CPUE) akan sangat dinamis mengikuti perkembangan teknologi. Artinya, koefisien kemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSY tidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan teknologi.
  

BAB III

KESIMPULAN

Pengelolaan pemanfaatan wilayah pesisir di Indonesia yang tengah diupayakan mampu mendorong keberlangsungan komoditas perikanan yang berkelanjutan, dengan adanya suatu sistem pengelolaan yang maksimal yang disertai oleh beberapa regulasi yang mendukung terlaksananya pemanfaatan potensi perikanan yang maksimal serta tepat sasaran. Dengan adanya aturan mengenai tata lakasana perikanan yang bertanggungjawab (CCRF) yang ditujukan untuk membantu negara-negara di dunia dalam membangun dan mengembangkan perikanan, dengan dasar pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya perikanan. 
Dalam Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara bertanggungjawab, dan bagaimana kegiatan perikanan harus diterapkan sesuai dengan peraturan nasional masing-masing negara. Walaupun tidak menyebutkan Kawasan Konservasi Perairan secara khusus, tata lakasana perikanan yang bertanggungjawab (CCRF) memandang konservasi sebagai salah satu pendekatan yang sangat penting dalam pengelolaan perikanan. 

DAFTAR PUSTAKA


Barani, Husni Mangga. 2004. Pemikiran Percepatan Pembangunan Perikanan Tagkap Melalui Gerakan Nasional. Diakses pada 27 Oktober 2017  : http://tumoutou.net/702_07134/husni_mb.pd
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/005/v9878id/v9878id09.pdf
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47 Tahum 2016 tentang Potensi, Jumlah Tangkapan Yang diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Mukhtar, 2012. Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari, Pengawas Perikanan Muda Bidang Penangkapan Ikan, PPNS Perikanan
wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum-Kebijakan-KKP-Indonesia.pdf diakses pada tanggal 26 Oktober 2017


2 comments:

  1. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)

    ReplyDelete
  2. Best No Deposit Casinos | 50+ Free Spins No Deposit for 2021
    No sc 벳 Deposit Casinos List for 바카라중국점 2021. We list 메가 슬롯 the 룰렛 게임 top no deposit casinos for xbet 2021. Claim your bonus and play for real money right from your phone.

    ReplyDelete