INTEGRATION
OF FISHERIES INTO COASTAL AREA MANAGEMENT (INTEGRASI PERIKANAN KEDALAM
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR)
PENDAHULUAN
Negara Indonesia terdiri atas 17.502 buah pulau, dan garis
pantai sepanjang 81.000 km dengan Luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8
juta Km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta
Km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta Km2.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa prospek pembangunan perikanan dan kelautan
Indonesia dinilai sangat cerah dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang
strategis. Sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai
memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi.
Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut
Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain :
tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang
(kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk
rumput laut (Barani, 2004).
Isu strategis dan permasalahan umum yang menjadi kendala
utama dalam mewujudkan kegiatan perikanan berkelanjutan di Indonesia adalah: 1)
pengelolaan perikanan (fisheries management); 2) penegakan hukum (law
enforcement); dan 3) pelaku usaha perikanan. Masih lemahnya sistem pengelolaan
perikanan merupakan isu strategis dan permasalahan umum yang pokok dalam
mewujudkan sektor perikanan berkelanjutan di Indonesia. Hal ini telah
diindikasikan dengan tidak meratanya tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di
wilayah Indonesia. Sebagai contoh untuk perikanan tangkap, banyak perairan laut
di kawasan barat dan tengah Indonesia sudah menunjukkan gejala padat tangkap (overfishing),
seperti Selat Malaka, perairan timur Sumatera, Laut Jawa, dan Selat Bali.
Sementara, di perairan laut kawasan timur Indonesia, tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikannya belum optimal atau masih underfishing. Akibatnya,
pada daerah-daerah penangkapan ikan tertentu yang mengalami over-exploitation,
nelayan-nelayannya umumnya menjadi miskin, karena sulit mendapatkan ikan hasil
tangkapan. Selain itu pula, sangat rawan terjadinya konflik antar nelayan di
perairan tersebut. Disisi lain, pada daerah-daerah penangkapan ikan yang
tingkat pemanfaatannya belum optimal atau underfishing, sumber daya ikan
yang bernilai tersebut terkesan dibuang begitu saja, bahkan di beberapa
perairan, yang memanfaatkannya adalah kapal-kapal perikanan illegal dari
negara lain.
Hal tersebut di atas merupakan suatu permasalahan yang
tengah dihadapi oleh perikanan Indonesia, maka berdasarkan hal tersebut
perlunya dibuat suatu kebijakan terkait pemanfaatan wilayah pesisir itu sendiri
dengan mempertimbangkan berbagai aspek sehingga terjadi keberlangsungan
pengelolaan perikanan yang khususnya mempertimbangakan aspek lingkungan sebagai
penunjang ekosistem perairan dalam menjamin keberlangsungan hidup biota
perairan untuk dimanfaatkan dalam hal memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal
kebutuhan protein hewani.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk
menambah informasi mengenai integrasi perikanan ke wilayah pesisir dalam hal
kebijakan dan pengelolaannya terkait keberlangsungan sumberdaya perikanan agar
terkelolah dengan baik sehingga dapat mencegah menurunnya produksi di bidang
kelautan dan perikanan dengan tetap menjaga ekosisem dari biota perariran.
PEMBAHASAN
Pengelolaan perikanan dunia yang ada
pada masa kini dinilai tidak mencerminkan suatu pengelolaan yang terbarukan,
karena tidak memperhitungkankomponen data hasil tangkapan yang dilakukan oleh
praktek llegal,Unreported,Unregulated Fishing (IUU Fishing). IUU Fishing
kemudian menjadi sorotan Food and Agricultural Organitation (FAO) yang
bertanggung Jawab dalam pengelolaan sumber daya perikanan global dengan tujuan
akhir pada keberlanjutan sistem perikanan global. Salah satu upaya dalam
konteks pencapaian tujuan ini adalah diterbitkannya code of conduct for
responsible fisheries (CCRF) Norma atau tingkah laku ini bersifat sukarela, namun
beberapa bagian dari isinya disusun berdasarkan ketentuan+ketentuan yang
terdapat dalam UNCLOS 1982. Melalui CCRF ini diharapkan semakin banyak negara
perikanan dunia yang maumemperbaiki pelaksanaan pengelolaan sumber daya
perikanannya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan keinginan negara
masing-masing tanpa harus merasa terikat untuk menjalankan ketentuan yang
dirasa memberatkan.
Data FAO menunjukkan bahwa ikan untuk
konsumsi manusia mengambil porsi 18% dari protein hewani; nilai perdagangan
ikan dunia lebih dari 50 Milyar USD per tahun; produksi total 117 juta ton per
tahun (74% penangkapan dan sisanya budidaya). Isyu penting yang dihadapi
perikanan dunia meliputi: ketersediaan pangan untuk manusia; mata pencaharian
untuk nelayan dan pembudidaya kecil; konservasi dan manajemen sumberdaya; overfishing (lebih tangkap)
dan over capacity
(kapasitas berlebih); degradasi lingkungan; dan ikan yang dibuang (discard).
a. Menetapkan
azas sesuai dengan hukum (adat, nasional, dan international), bagi penangkapan
ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggung jawab.
b. Menetapkan azas dan kriteria kebijakan,
c. Bersifat
sebagai rujukan (himbauan),
d. Menjadiakan
tuntunan dalam setiap menghadapi permasalahan,
e. Memberi
kemudahan dalam kerjasama teknis dan pembiayaan,
f. Meningkatkan kontribusi pangan,
g. Meningkatkan
upaya perlindungan sumberdaya ikan,
h. Menggalakan
bisnis Perikanan sesuai dengan hukum
i. Memajukan
penelitian,
2. Topik yang diatur dalam
Tatalaksana ini adalah
a. Pengelolaan Perikanan;
b. Operasi Penangkapan;
c. Pengembangan Akuakultur;
d. Integrasi Perikanan ke Dalam Pengelolaan Kawasan
Pesisir;
e. Penanganan Pasca Panen dan Perdagangan
f. Penelitian Perikanan.
3.
Prinsip-prinsip Umum Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
a. Pelaksanaan
hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk melaksanakan hak
tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin keberhasilan
upaya konservasi dan pengelolaannya;
b. Pengelolaan
sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya untuk mempertahankan kualitas,
keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber-sumber perikanan dalam jumlah
yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang;
c. Pengembangan
armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya sesuai dengan
kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya;
d. Perumusan
kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah
yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolaan
sumber-sumber perikanan serta habitatnya;
e. Dalam rangka
konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara dan organisasi perikanan
regional harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) seluas-luasnya;
f. Alat-alat
penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif dan aman
terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan
keanekaragaman jenis dan populasinya;
g. Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan, dan pendistribusiannya
harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan
nutrisinya;
h. Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus
dilindungi dan direhabilitasi;
i. Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-sumber
perikanannya kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir;
j. Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme Monitoring, Controlling and
Surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan penegakan hukum di bidang konservasi
sumber-sumber perikanan;
k. Negara bendera harus mampu melaksanakan
pengendalian secara efektif terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan
benderanya guna menjamin pelaksanaan tata laksana ini secara efektif;
l. Setiap
negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan cara
penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik di dalam maupun di luar wilayah
yurisdiksinya;
m. Setiap negara
harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara transparan dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan peraturan dan
kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;
n. Perdagangan
perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak, dan
kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization (WT-0);
o. Apabila
terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk mencapai penyelesaian
sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang relevan;
p. Setiap
negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi
melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka di dalam proses
pengambilan keputusan;
r. Setiap
negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta
lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional;
s. Setiap negara harus memberikan
perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan kecil dengan mengingat
kontribusinya yang besar terhadap penyediaan
kesempatan kerja, sumber penghasilan, dan keamanan pangan;
t. Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan
untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan.
4. Kewajiban
Mengikuti Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF)
a. Semua Negara yang memanfaatkan
sumberdaya ikan dan lingkungannya.
b. Semua Pelaku
Perikanan (baik penangkap dan prosesing).
c.Pelabuhan-Pelabuhan
Perikanan (kontruksi, pelayanan, inspeksi, dan pelaporan);
d. Industri
disamping harus menggunakan alat tangkap yang sesuai.
e. Peneliti untuk pengembangan alat
tangkap yang selektiv.
f. Observer
program (pendataan diatas kapal).
g.Perikanan
rakyat, perlu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan dan penggunaan energi
yang efisien.
Kewajiban
Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF) Yang Harus Dipenuhi Oleh :
1. Negara
a.
Mengambil langkah precautionary
(hati-hati) dalam rangka melindungi atau membatasi penangkapan ikan sesuai
dengan daya dukung sumber.
b.
Menegakkan mekanisme yang efektif
untuk monitoring, control, surveillance dan law enforcement .
c.
Mengambil langkah-langkah konservasi
jangka panjang dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari.
2.
Pengusaha
a.
Supaya berperan serta dalam
upaya-upaya konservasi, ikut dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan
oleh organisasi pengelolaan perikanan (misalnya FKPPS).
b.
Ikut serta mensosialisasi dan
mempublikasikan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan serta menjamin
pelaksanaan peraturan.
c.
Membantu
mengembangkan kerjasama (lokal, regional) dan koordinasi dalam segala hal yang
berkaitan dengan perikanan, misalnya menyediakan kesempatan dan fasilitas
diatas kapal untuk para peneliti.
3.
Nelayan
a.
Memenuhi ketentuan pengelolaan
sumberdaya ikan secara benar.
b.
Ikut serta mendukung langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan.
c.
Membantu pengelola dalam mengembangkan
kerjasama pengelolaan, dan berkoordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan
pengelolaan dan pengembangan perikanan.
Indonesia
memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar baik dari segi
kuantitas maupun keanekaragamannya. Potensi lestari (maximum sustainable
yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton
per tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch)
sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12 juta ton per tahun. Namun demikian, telah
terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar
kawasan dan antar jenis sumber daya.Di sebagian wilayah telah terjadi gejala
tangkap lebih (over fishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka,
sedangkan di sebagian besar wilayah timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah
potensi lestari.
Manajemen
perikanan tangkap di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara
kelompok pertama, namun berada di atas sedikit dari negara-negara kelompok
kedua yang notabene pelaku illegal fishing di Indonesia. Apabila tidak ada
perbaikan manajemen, maka dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan mengalami
hal yang sama dengan Malaysia dan Thailand yaitu stock ikan habis dan nelayan
mencuri ikan di negara lain. Indikator terjadinya over fishing dan over
capacity saat ini sudah semakin jelas. Over fishing adalah penangkapan yang
melebihi tingkat kelestarian sedangkan over capacity adalah kapasitas
penangkapan (modal, upaya, hari melaut) yang makin tinggi namun hasil makin menurun.
Indikatornya meliputi:
1) makin langkanya jenis ikan tertentu di suatu
kawasan (misalnya Kakap Merah di Laut Arafura);
2) nelayan artisanal makin sulit mendapatkan
ikan di jalur dekat pantai; 3) CPUE
makin menurun (misalnya hook rate Tuna menurun drastis);
4) makin lamanya hari operasi melaut untuk
menangkap ikan (terjadi di semua kapal saat ini);
5) ukuran ikan yang ditangkap makin kecil;
6)usaha penangkapan ikan makin merugi. Parahnya
kondisi tersebut tidak lain disebabkan oleh Kebijakan dan regulasi pelaksanaan
yang tidak jelas, tidak mengacu kepada CCRF dan tidak berorientasi kepada masa
depan kelestarian sumber daya serta tidak berpihak kepada nelayan dan nasib
rakyat kecil.
1. Penangkapan ikan berlebih (overfishing)
Penangkapan ikan
berlebih adalah salah satu bentuk eksploitasi berlebihan terhadap populasi ikan
hingga mencapai tingkat yang membahayakan. Hilangnya sumber daya alam, laju
pertumbuhan populasi yang lambat, dan tingkat biomassa yang rendah merupakan
hasil dari penangkapan ikan berlebih, dan hal tersebut telah dicontohkan dari
perburuan sirip hiu yang belebihan dan mengganggu ekosistem laut secara
keseluruhan. Kemampuan usaha
perikanan menuju kepulihan dari jatuhnya hasil tangkapan akibat hal ini
tergantung pada kelentingan ekosistem ikan terhadap turunnya populasi.
Perubahan komposisi spesies di dalam suatu ekosistem dapat terjadi pasca
penangkapan ikan berlebih di mana energi pada ekosistem mengalir ke spesies
yang tidak ditangkap. Dampak penangkapan
ikan berlebih secara tidak langsung adalah mengurangi pendapatan nelayan
sehingga sebagian beralih profesi. Di Laut China Timur, nelayan beralih profesi
dari perikanan tangkap ke budi daya perairan, pemrosesan ikan, dan wisata
bahari setelah hasil tangkapan lokal menurun.
Kerusakan yang
ditimbulkan dengan adanya penangkapan berlebihan yaitu :
a. Kerusakan berdasarkan populasi ikan
Umumnya ikan
ditangkap ketika sudah mencapai ukuran tubuh tertentu, dan ikan berukuran kecil
tidak tertangkap oleh jaring atau dilepaskan oleh nelayan. Ikan yang ditangkap
berlebih berdasarkan ukuran tubuh akan menyebabkan ikan yang tersisa di
populasi merupakan ikan berusia muda yang masih jauh dari tahap kematangan
seksual sehingga sulit bagi populasi untuk mengembalikan populasi. Hal ini akan
menjadikan tangkapan berikutnya menjadi lebih sedikit, sehingga peraturan
dilonggarkan untuk menjaga pendapatan nelayan.
b. Kerusakan berdasarkan ekosistem
Penurunan populasi
terjadi ketika penangkapan ikan berlebih mempengaruhi keseimbangan ekosistem,
misal dengan menghabisi satu tingkatan trofik tertentu sehingga tingkatan
trofik di atasnya tidak mendapatkan mangsa. Contoh lainnya adalah penangkapan
ikan tuna berlebih yang menyebabkan populasi ikan kecil seperti ikan teri
mengalami peningkatan.
Contoh kasus
a. Di Peru, penurunan
hasil tangkapan jatuh pada tahun 1970an akibat penangkapan ikan berlebih dari
gangguan cuaca oleh El Niño. Ikan teri dulunya merupakan sumber daya alam yang
utama bagi Peru dengan hasil tangkapan lebih dati 10 juta metrik ton per tahun,
namun setelah tahun 1971 jumlahnya terus menurun hingga hanya 4 juta metrik ton
per tahun.
b. Di pulau
Newfoundland, Kanada, populasi ikan kod mengalami penurunan drastis. Di tahun
1992, Kanada mengeluarkan moratorium yang melarang penangkapan ikan di wilayah
tersebut hingga waktu yang tidak ditentukan.
c. Berbagai ikan
demersal laut dalam seperti Hoplostethus
atlanticus, Dissostichus eleginoides, dan Anoplopoma fimbria berada dalam kondisi terancam karena penangkapan
ikan berlebih. Ikan laut dalam merupakan jenis ikan yang sangat lambat
pertumbuhan dan laju reproduksinya. Ikan jenis ini baru mencapai tahap
kematangan seksual pada usia 30 atau 40 tahun. Ikan laut dalam juga berada di
perairan internasional yang tidak dilindungi oleh peraturan negara manapun.
Ikan laut dalam semakin diincar sejak ditemukannya teknologi pendingin yang
dapat dibawa hingga ke laut bebas.
Selain
karena overcapacity, perubahan
lingkungan diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan drastis stok ikan
di Laut Atlantik Utara atau di dunia seperti yang dilaporkan dalam pertemuan
ahli biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London [5]. Perubahan
lingkungan yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu permukaan laut.
Ekosistem laut, khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh dampak
fluktuasi kondisi alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek
penelitian Global Ocean Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil mengidentifikasi
mekanisme alam yang mengatur dinamika populasi dan produktivitas laut. Mereka
menduga bahwa penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai akibat
dari kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade
terakhir.
Para ahli
eko-biologi GLOBEC telah menemukan respon biologi terhadap perubahan lingkungan
dalam ekosistem laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa
perubahan biologis dalam 10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap
kelimpahan sumberdaya alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan
kekuatan angin terhadap rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan
dan kegagalan dalam memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok
ikan cod di Newfoundland, Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan)
menunjukkan bahwa faktor lain selain penangkapan telah berperan besar dalam
menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Oleh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan berkelanjutan,
penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa yang
diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab,
bila kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan
iklim dan faktor lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing, juga
diyakini sebagai penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu
bahwa variasi iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya
ikan-ikan yang hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan
burayak telah diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan.
Informasi ini telah terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan
untuk menentukan kuota penangkapan yang optimal.
Kerusakan habitat ikan terhadap terumbu karang
di laut. Perusakan terumbu karang ini dilakukan dengan cara pengeboman dalam
usaha untuk menangkap ikan sebanyak – banyaknya oleh nelayan yang tidak
bertanggung jawab dan juga penggunaan racun potasium. Tidak hanya itu, tindakan yang merusak biota laut ini juga dilakukan
dengan cara mengeksploitasi terumbu karang untuk digunakan sebagai pondasi
bangunan dan juga mengeoploitasi hasil laut yang tidak teratur.
Pengeksploitasian batu karang yang banyak digunakan untuk bahan bangunan juga
menjadi salah satu fakor yang menyebabkan kerusakan ekosistem yang terjadi di
laut. Penambangan pasir pantai yang dilakukan manusia untuk di jadikan
sebagai bahan bangunan. Hal ini tentu memicu kerusakan ekosistem laut yang
menjadi daerah asuhan bagi beberapa jenis ikan.
Dengan rusaknya terumbu karang, tentunya juga akan merusak biota laut. Terumbu karang merupakan
tempat dimana hidupnya ribuan jenis ikan yang menggantungkan hidupnya dengan
memakan fitoplankton yang juga hidup di daerah terumbu karang tersebut.
Pembuangan berbagai macam limbah yang dibuang ke laut. Berbagai macam
limbah domestik, limbah industri dan pembuangan sisa
pengolahan ikan yang langsung di buang ke laut tentunya akan mencemari dan
menurunkan kualitas laut. Pencemaran ini tentunya akan merusak ekosistem laut.
Penggunaan alat tanggap seperti
cantrang dapat menghasilkan hasil tangkapan yang tidak selektif seperti menangkap semua ukuran ikan,
udang, kepiting, serta biota lainnya.Biota yang dibuang akan mengacaukan data
perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan.Mengeruk dasar
perairan dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi
pemijahan biota laut.Sumber daya ikan di perairan Laut Jawa mengalami degradasi
dikarenakan padatnya aktivitas penangkapan dari berbagai daerah.
Hasil Forum
Dialog pada tanggal 24 April 2009 antara Nelayan Pantura dengan Dinas Kelautan
dan Perikanan Jawa Tengah, TNI-AL, POLRI, Kementerian Perhubungan, dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggambarkan kondisi Cantrang di Jawa
Tengah, yaitu jumlah Kapal Cantrang pada
tahun 2004 berjumlah 3.209 unit, meningkat 5.100 unit di tahun 2007 dan pada
tahun berjumlah 10.758 unit. Sedangkan hasil tangkapan per unit (Catch Per-unit
of Effort/CPUE) menurun dari 8,66 ton pada tahun 2004 menjadi 4,84 ton di tahun
2007.
Dikarenakan telah
overfishing, para nelayan di Pantai Utara Jawa tersebut mulai bergerak ke
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) lainnya. Pergerakkan ini bahkan telah
tercatat sejak 1970.
Sasaran dari integrasi perikanan ke
dalam pengelolaan kawasan pesisir yaitu mengembangkan penelitian dan pengkajian
sumberdaya ikan di kawasan pesisir beserta tingkat pemanfaatannya. Terkait hal
tersebut telah dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai potensi dan
penangkapan komoditas perikanan yang tertuang kedalam Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47 Tahum 2016 tentang Potensi,
Jumlah Tangkapan Yang diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Sampai saat ini
pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan
pengelola sumber daya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang
tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalah pembagian daerah perairan
Indonesia menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian
wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di
pelabuhan. Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada,
tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading
karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi,
padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudera Hindia. Tuna ini
seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta,
yang masuk WPP Laut Jawa.Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya dengan
kondisi stok ikan di perairan Indonesia.
Kemampuan menduga
jumlah populasi ikan (stock assessment) secara akurat sangat ditentukan
ketersediaan informasi dan data yang tepat. Hal ini sudah menjadi perhatian
para peneliti maupun pengambil kebijakan di lingkungan Departemen Kelautan dan
Perikanan. Namun, penentuan jumlah tangkap maksimum lestari (maximum
sustainable yield) atau yang lazim dikenal dengan MSY perlu disikapi hati-
hati. Berbagai asumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak
valid lagi.
Salah satu contoh
adalah faktor teknologi yang berkembang dengan pesat sehingga kemampuan
penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catch per unit effort/CPUE) akan
sangat dinamis mengikuti perkembangan teknologi. Artinya, koefisien kemampuan
penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSY
tidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan
teknologi.
BAB III
KESIMPULAN
Pengelolaan pemanfaatan wilayah pesisir di Indonesia yang
tengah diupayakan mampu mendorong keberlangsungan komoditas perikanan yang
berkelanjutan, dengan adanya suatu sistem pengelolaan yang maksimal yang
disertai oleh beberapa regulasi yang mendukung terlaksananya pemanfaatan
potensi perikanan yang maksimal serta tepat sasaran. Dengan adanya aturan
mengenai tata lakasana perikanan yang bertanggungjawab (CCRF) yang ditujukan
untuk membantu negara-negara di dunia dalam membangun dan mengembangkan
perikanan, dengan dasar pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya
perikanan.
Dalam Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF)
menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara bertanggungjawab, dan
bagaimana kegiatan perikanan harus diterapkan sesuai dengan peraturan
nasional masing-masing negara. Walaupun tidak menyebutkan Kawasan Konservasi
Perairan secara khusus, tata lakasana perikanan yang bertanggungjawab (CCRF)
memandang konservasi sebagai salah satu pendekatan yang sangat penting
dalam pengelolaan perikanan.
DAFTAR PUSTAKA
Barani, Husni
Mangga. 2004. Pemikiran Percepatan Pembangunan Perikanan Tagkap Melalui
Gerakan Nasional. Diakses pada 27 Oktober 2017 : http://tumoutou.net/702_07134/husni_mb.pd
Code
of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF),
1995. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/005/v9878id/v9878id09.pdf
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 47 Tahum 2016 tentang Potensi, Jumlah Tangkapan Yang diperbolehkan dan
Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia.
Mukhtar, 2012.
Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari,
Pengawas Perikanan Muda Bidang Penangkapan Ikan, PPNS Perikanan
wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum-Kebijakan-KKP-Indonesia.pdf
diakses pada tanggal 26 Oktober 2017
Izin promo ya Admin^^
ReplyDeleteBosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)
Best No Deposit Casinos | 50+ Free Spins No Deposit for 2021
ReplyDeleteNo sc 벳 Deposit Casinos List for 바카라중국점 2021. We list 메가 슬롯 the 룰렛 게임 top no deposit casinos for xbet 2021. Claim your bonus and play for real money right from your phone.