Iklan

Thursday, February 6, 2020

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN


MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN YANG DILINDUNGI
SIPUT HIJAU (Turbo marmoratus Linnaeus, 1758)
 PENDAHULUAN
Turbo marmoratus umumnya dikenal sebagai Turban sorban marmer, Turban shell hijau, atau siput hijau. Ini adalah siput laut dari famili Turbinidae yang besar, dengan tempurung tebal dan operkulum besar mengkilat yang menutup pintu belakang ketika hewan masuk ke dalam shell (cangkang) untuk keamanan dari pemangsa atau ketika merasa terganggu. Selain itu, cangkang dari marmer juga digunakan sebagai nacre dan di beberapa tempat opercula telah digunakan sebagai pemberat kertas.
Cangkang yang berwarna hijau pada waktu muda yang dimiliki siput ini berfungsi untuk melindungi bagian tubuh lunaknya. Pada saat ukuran cangkangnya sudah mencapai 15 cm atau lebih, warna hijau tertutup oleh alga dan biota penempel (fouling organism) sehingga tampak hanya warna cokelat atau putih kusam. Cangkang bagian dalam warnanya tetap mengkilap seperti perak. Tubuhnya terdiri dari badan dan kaki sebagai alat gerak, kepala dengan tentakel dan sepasang mata. Pada tubuh yang lunak menempel operkulum yang tersusun dari zat tanduk berwarna putih berbentuk cembung pada sisi luarnya dan berfungsi sebagai pelindung dirinya dari serangan musuh.
Siput Mata Bulan memiliki penyebaran yang luas, dari lautan India bagian barat sampai ke Kenyadan Kepulauan Scychellees sampai ke panatai barat Pasifik dan Asia Tenggara. Sebaran dan habitat biota ini memiliki kemi-ripan dengan jenis lola (Trocus niloticus) yaitu rataan turumbu karang pada daerah pasang-surut hingga sublitoral yang dangkal. Di Indonesia para pedagang menyatakan bahwa populasi yang paling banyak terdapat di perairan kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dab Irian Jaya.
Di Maluku, Turbo marmoratus atau Siput Mata Bulan lebih dikenal dengan nama batu laga atau batu goyang.  merUkurannya dapat mencapai 20 cm dan beratnya lebih dari 3 kg. Nelayan telah lama memanfaatkan cangkangnya sebagai bahan kancing baju, kerajinan tangan atau dijual sebagai souvenir dan dagingnya dikonsumsi. Nelayan telah lama memanfaatkan siput ini untuk diambil cangkangnya sebagai bahan kancing baju, kerajinan tangan atau dijual sebagai suvenird an dagingnya dikonsumsi.
Siput ini merupakan sumberdaya yang penting bagi masyarakat dengan tingkat pemanfaatan yang sangat intensif. Eksploitasi siput mata bulan yang dijadikan bahan makanan bergizi tinggi oleh masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pantai semakin meningkat (Hamzah, 2015). Demikian juga penjelasan Kikutani (2002) bahwa negara Korea, China, Jepang dan Eropa dijadikan sebagai bahan makanan terutama jenis Turbo marmoratus (Gastropoda, Turbinidae). Sifat hidup berkelompok dan terkonsentrasi pada lekukan bongkahan batu karang, sehingga mudah ditangkap oleh masyarakat yang mendiami kawasan wilayah pesisir terutama pada saat periode surut rendah (bulan purnama). Penangkapan yang berlebihan lambat laun akan mengarah pada kelebihan tangkap (over fishing). Adapun tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana konservasi kerang hijau untuk menyelamatkan sumberdaya agar tidak over eksploitasi.
  
PEMBAHASAN
A.   Aspek Biologi dan Ekologi
1.    Deskripsi dan Sistematika
Tubuh siput Mata Bulan dapat dibagi menjadi dua yaitu tubuh lunak. Cangkang yang berwarna hijau pada waktu muda berfungsi melindungi bagian tubuh lunaknnya. Namun pada ukuran lebar cangkang >15 cm, warna hijau tertutup oleh algae dan biota penempel (fouling organism) sehingga yang tampak hanya warna coklat atau putih kusam. Cangkang bagian dalam warnanya mengkilap seperti perak.
Tubuhnya terdiri dari badan/kaki sebagai alat gerak, dan kepala dengan tentakel dan sepasang mata. Pada tubuh yang lunak menempel operculum yang tersusun dari zat tanduk berwarna putih, tebal dan bentuk cembung pada sisi luarnya. Operculum ini berfungsi untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Siput ini menunjukkan sifat seksual dimorfisme artinya jenis jantan dan betina dapat dibedakan secara morfologi. Seksual dimorfisme siput mata bulan terlihat dari bentuk genital papilla yang berfungsi sebagai organ sex. Bentuk organ jantan seperti pipa dengan Panjang sekitar 3,0-5,0 mm, berwarna jingga muda, sedangkan pada organ betina bentuknya melebar, sebesar biji kacang dan berukuran 15-20 mm (Komatsu, 1992).
 
Gambar 1. Siput Hijau (Turbo marmorata)
Organ sex tersebut terlindung oleh cangkang, oleh karena itu cara memeriksanya dengan mengangkat cangkang siput dan membiarkan bagian tubuh lunaknya keluar dengan memberikan siraman air laut lewat selang plastic pada bagian kepalanya. Dalam Dunia perdagangan internasional siput mata bulan dikenal dengan sebutan “Green Snail”, “Green turban”, “Turban shell”, atau “Mother of pearl shell”. Sedangkan dalam statistik perdagangan Indonesia disebut “Burgos” dan dalam dunia ilmu pengetahuan disebut Turbo (Lunatica) marmoratus Linne 1758.
Secara rinci sistematika siput hijau adalah sebagai berikut :
Kingdom :Animalia
Phylum :Mollusca
     Class  :Gastropoda

                 Subclass  :Vetigastropoda
                     Order          :Archaeogastropoda

                          Superfamily : Trochoidea
                              Family          :Turbinidae

                                Subfamily      :Turbininae
                                      Genus        :Turbo

                                                         Species :   marmoratus
                                                             Turbo marmoratus Linnaeus, 1758 (Worms)


2.    Siklus Hidup
Yamaguchi (1992) memperkirakan bahwa siput hijau di Vanutu mencapai tingkat kematangan seksual pada ukuran lebar cangkang > 15 cm. sednagkan siput betina di Ryukyus (Jepang) dengan tingkat perkembangan matang gonad (well developed gonad) ditemukan pada ukuran kira-kira 13 cm. Gonad yang masuk atau telur siput yang dikeluarkan berwarna hijau sampai tua, sedangkan spermanya berwarna putih atau krem. Sperma atau telur dikeluarkan dengan proses kontraksi tubuhnya selama kira-kira 30 menit. Biasanya siput jantan akan mengeluarkan spermanya terlebih dulu, kemudian diikuti siput betina. Siput betina yang berukuran antara 13-19 cm mampu menghasilkan kira-kira 1.3-1.7 juta telur (Komatsu, 1992).
Telur yang telah dibuahi akan melayang-layang dan tersebar diseluruh kolam air. Telur tersebut menetas menjadi trochospore kira-kira 22 jam setelah pembuahan (fertilisasi) pada suhu 21-230C akan menetas dalam waktu 12 jam setelah pembuahan.
Beberapa jam kemudian (kira-kira 48 jam) trochospore berubah menjadi veliger yang berenang-renang didekat permukaan air. Setelah 3 hari, veliger akan berubah menjadi pediveliger, yang umumnya mulai menempel disubstrat pada hari ke-4. Jadi, larva siput hijau memiliki fase berenang-renang (planktonic) yang cukup pendek.
  

Gambar 2. Siklus Hidup (Pakoa et al, 2014)
Untuk beberapa minggu, siput kecil (juvenile) makan microalgae yang menempel pada batu-batu karang dan substrat batu lainnya. Pada umur 6 bulan, juvenile dapat memakan potongan-potongan makroalgae seperti Gelidium dan Monostroma. Laju pertumbuhan juvenile sangat bervariasi. Siput hijau diperkirakan mencapai ukuran lebar cangkang 2.0-3.0 cm pada umur 1 tahun setelah pemijahan. Pada umur 3-4 tahun, siput tersebut diperkirakan akan mencapai tingkat kematangan seksual pertama (Yamaguchi, 1992).

3.    Habitat dan Kebiasaan Makan.
 


Gambar 3. Habitat Siput Hijau

Yamaguchi dan Kikutani (1989) menyatakan bahwa siput hijau menempati habitat pantai berbatu dan karang,dengan kriteria lingkungan sebagai berikut.
a.    Topografi yang beragam dan kaya akan microalgae yang tumbuh pada substrat batu kapur;
b.    Kemiringan pantai tidak terlalu curam dengan kedalaman kurang dari 20 meter;
c.     Pergerakan air pada arus yang kuat, tanpa adanya aliran sungai besar dan polusi.
Siput hijau termasuk hewan herbivora yang memakan microalhgae (rumput laut renik) yang tumbuh pada batuan dan karang mati di dalam aquarium, ia dapat mencerna rumput laut yang berukuran besar (makroalgae) terutama dari jenis algae hijau (Entromorpha, Monastroma) dan algae merah (Gracilaria, Hypnea dan Eucheuma). Jenis makroalgae yang paling disukai adalah jenis algae Gelidium.
4.    Musuh Alami
Siput hijau menghadapi berbagai musuh dalam setiap fase siklus hidupnya. Pada fase telur, larva dan juvenile merupakan fase yang paling tinggi tingkat kematiannya.pada fase larva veliger, ukurannya kurang dari 1.0 mm, musuh utamanya adalah bakteri dan cacing turbellaria dari jenis Rhapdocoel yang hidup ada substrat karang. Sedangkan tahap juvenile sampai ukuran 3.0 cm musuh utamanya berupa kepiting kecil (Xanthidae, Portunidae) dan cacing pipih (Polyclad turbellaria), (Yamaguchi, 1988).
Walaupun belum ada penelitian secara rinci, beberapa dugaan predator utama bagi siput hijau adalah octopus, udang karang, buntal (Porcupine), ikan hiu dan penyu (Arifin, 1994).
B.   Distribusi Dan Introduksi
Distribusi alami dari siput hijau dari Samudera Hindia barat (Kenya dan Seychelles) ke Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia dan Filipina) dan sampai Kepulauan Ryukyu dari Southern Jepang, dan ke barat Kepulauan Pasifik (Papua Nugini , Kepulauan Solomon dan Vanuatu). Introduksi telah memperpanjang rentang distribusi siput hijau sejauh timur seperti Polinesia Perancis dan Tonga (Yamaguchi dan Kikutani 1989).

Gambar 4. Distribusi dan Introduksi Siput Hijau (Turbo marmorata).

C.   Pemanfaatan Siput Hijau
Siput hijau menjadi salah satu bahan atau objek alternative dalam membuat kerajinan dengan berbagai varian model dan peruntukannya dan memiliki nilai jual tinggi, selain itu sebagian masyarakat juga memanfaatkan siput hijau untuk dikonsumsi.

Gambar 5. Pemanfaatan Siput Hijau Untuk Kerajinan dan Konsumsi. 
D.   Status Siput Hijau (Turbo marmoratus)
Pada tahun 1982 disahkan dan diundangkan UU No. 4 Tabun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), yang berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut UULH ini menyatakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu ditetapkan dengan undang-undang, yang kegiatannya mencakup 3 aspek :
1. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara;
3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(Pasal 12 & Penjelasannya)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis biota perairan yang dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan (Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No. 716/Kpts/Um/10/1980, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987). Namun, beberapa jenis satwa yang dilindungi menurut beberapa Keputusan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan di atas, oleh UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (UUP) dinyatakan dapat dimanfaatkan secara komersial (Pasal 1 Angka 2 & Penjelasannya).
Kemudian pada tahun 1990 diberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH) yang merupakan realisasi amanat Pasal 12 UULH tersebut di atas. UUKH ini menyatakan konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Selanjutnya, dalam Pasal 20 UUKH ditetapkan, untuk melindungi spesies perlu ditetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi baik karena dalam bahaya kepunahan maupun karena populasinya jarang. Sehubungan dengan ketentuan di atas, Menteri Kehutanan mengeluarkan 2 Surat Keputusan, yakni Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-1I/1991 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/92. 
Sebagai konsekuensi dari ketentuan itu, setiap orang tidak boleh melakukan penangkapan atau tindak perbuatan lain yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (2) UUKH. Apabila ada orang yang melakukan tindak perbuatan dimaksud, maka orang tersebut dapat dipidana (Pasal 40 ayat (2) & ayat (4) UUKH), dan tumbuhan & satwa tersebut dirampas oleh negara untuk dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan (Pasal 24 UUKH).
Pengecualian terhadap hal di atas dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatannya, dan atau membahayakan kehidupan manusia (Pasal 22 UUKH).Pemanenan sangat tinggi untuk hiasan dan koleksi, namun laju pertumbuhan sangat rendah. Khusus di Indonesia status Siput  Hijau sudah dilindungi. Surat keterangan menteri kehutanan No.12/KPTS/II/1987 serta PP No.7 Tahun 1999 menetapkan beberapa spesies organisme dalam kategori dilindungi,termasuk salah satunya Turbo marmoratus.

E.    Menejemen Pengelolaan Siput Hijau (Turbo marmoratus)
Berdasarkan data yang diperoleh belum ada upaya pengelolaan dan budidaya masih sedikit.  Turbo marmoratus telah menjadi fokus dari perikanan yang intens selama abad terakhir. Untuk meningkatkan dan mengembalikan stok,, spesies ini telah menjadi fokus dari program budidaya di negara-negara Indo-Pasifik Barat seperti Indonesia dan Vanuatu, dan juvenil telah diintroduksi ke Tonga, Samoa dan Polinesia Perancis Samoa (Bell, J D and Gervis, M.,1999).
Dengan berbagai jenis keong yang ada di Indonesia dan permintaan keong laut yang besar dari negara Eropa, Amerika, dan Jepang, maka pemerintah hendaknya dapat mendukung usaha untuk tujuan ekspor baik dalam skala kecil dan skala menengah. Kampus dengan sumberdaya yang dimilikinya adalah salah satu sumber ilmu yang diperlukan untuk dapat mengelola sumber daya alam tersebut dan hanya dapat berperan efektif jika tersedia basis data tentang potensi dan peluang pengembangannya.
  
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. 1994. Siput Mata Bulan (Turbo marmoratus); Habitat dan Siklus Hidup. Balitbang Sumberdaya Laut,P3O-LIPI. Ambon. 1-8 p.
Komatsu, T. 1992. A Study of the reproduction of the green snail Turbo marmoratus in the Ryukyus, Southern Japan. M.Sc. Thesis. University of The Ryukyus, Japan. 30 p.
Hamzah, M.S. 2015. Sintasan dan Pertumbuhan Anakan Siput Mata Bulan pada Kondisi Suhu yang Berbeda. Jurnal Ilmu dan Kelautan Tropis. Vol. 7, No. 1, Hlm. 299-308
Hamzah, M.S. 2016. Pengaruh Padat Tebar Siput mata Bulan terhadap Sintasan dan Pertumbuhan dengan Sistem Air Water Lift. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Hlm. 289-297
Pakoa, K., William, A., Neihapi, P., dan Kikutani, K. 2014. The Status of green snail (Turbo marmoratus) resource in Vanutu and Recommendations for its Management. New Caledonia.
Surat keterangan menteri kehutanan No.12/KPTS/II/1987 serta PP No.7 Tahun 1999
Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-1I/1991 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/92.
Yamaguchi, M. 1992. Green Snail (Turbo marmoratus) 9 0. (in press).
Yamaguchi, M. 1988. Biology of green snail (Turbo marmoratus) and its resources management. Workshop on Pacific Inshore Fishery Resources, SPC. 9p.
Yamaguchi, M. and K. Kikutani, 1989. Fesibility study of green snail transplantation to the Federatied States of Micronesia. SPADP FAO. United Nations. Suve, Fiji. 25 p.


No comments:

Post a Comment