Iklan

Thursday, February 6, 2020

STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN


MAKAL 
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1998, luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia yaitu seluas 255.300 km2 dengan 70 genera dan 450 spesies. Terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.
Terumbu karang memiliki peranan sebagai sumber makanan, habitat biotabiota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Nilai estetika yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata dan memiliki cadangan sumber plasma nutfah yang tinggi. Selain itu juga dapat berperan dalam menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi pantai. Terumbu karang diidentifikasi sebagai sumberdaya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi karena memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan, dan menyediakan cadangan plasma nutfah. Nilai ekonomi terumbu karang diperkirakan setengah dari nilai ekonomi hutan tropic basah, yaitu sebesar AS $ 1.500 km2 pertahun.
Eksploitasi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut, termasuk terumbu karang. Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam keadaan sedang, 23,72 % dalam keadaan baik, dan 6,20 % dalam keadaan sangat baik. Hal ini menunjukkan telah terjadi tekanan yang cukup besar terhadap keberadaan terumbu karang di indonesia pada umumnya oleh beberbagai ancaman dan faktor-faktor penyebab kerusakan.
Aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya terumbu karang sering tumpang tindih dan bahkan banyak diantara aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan terumbu karang. Pembukaan hutan mangrove sering menyebabkan penggelontoran sedimen yang tinggi ke perairan karang, lalu lintas kapal diatas perairan karang dapat menyebabkan smashing karang, demikian pula aktivitas pariwisata sering menimbulkan dampak terhadap kehidupan karang. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan ekosistem terumbu karang akan musnah.
Upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya terumbu karang telah dilakukan oleh pemerintah khususnya di Kepulauan Seribu, namun tidak akan berjalan dengan baik tanpa kesadaran masyarakat. Karenanya peran serta masyarakat dalam mencintai dan melestarikan terumbu karang sangat dibutuhkan.Salah satu upaya untuk menjaga dan menyelamatkan terumbu karang dari pemanfaatan yang tidak berkelanjutan adalah pengelolaan yang berbasis masyarakat.

A.  Terumbu Karang

Terumbu karang adalah ekosistem bawah laut yang terdiri dari sekelompok binatang karang yang membentuk struktur kalisum karbonat, semacam batu kapur. Ekosistem ini menjadi habitat hidup berbagai satwa laut. Terumbu karang bersama-sama hutan mangrove merupakan ekosistem penting yang menjadi gudang keanekaragaman hayati di laut. Dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang disebut-sebut sebagai hutan tropis di lautan.
Ekosistem terumbu karang merupakan habitat hidup sejumlah spesies bintang laut, tempat pemijahan, peneluran dan pembesaran anak-anak ikan. Dalam ekosistem ini terdapat banyak makanan bagi ikan-ikan kecil dan ikan-ikan kecil tersebut merupakan mangsa bagi predator yang lebih besar. Diperkirakan terdapat lebih dari satu juta spesies mendiami ekosistem ini. Meski terlihat kokoh seperti batuan karang, ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Suhu optimum bagi pertumbuhan terumbu karang berkisar 26-28°C.  Dengan toleransi suhu berkisar 17-34°C.2Perubahan suhu dalam jangka waktu yang panjang bisa membunuh terumbu karang. Ekosistem ini juga memerlukan perairan yang jernih, sehingga matahari bisa menembus hingga lapisan terdalamnya.
Terumbu karang terdiri dari dua kata, yakni terumbu dan karang. Istilah terumbu dan karang memiliki makna yang berlainan. Istilah karang merujuk pada sekumpulan binatang. Sedangkan terumbu merupakan struktur kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang. Dalam bahasa Inggris disebut coral reef.Binatang karang terlihat seperti tanaman, padahal sebenarnya karang merupakan sekumpulan hewan-hewan kecil yang bernama polip. Orang yang pertama kali mengklasifikasikan karang sebagai binatang adalah J.A. de Peysonell, seorang ahli biologi dari Perancis pada tahun 1753. Dalam klasifikasi ilmiah, karang berada dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa.
Terdapat dua macam karang, yakni karang keras dan karang lunak. Karang keras hidup bersimbiosis dengan alga bernama zooxanthellae. Karang jenis ini hidup di perairan dangkal dimana sinar matahari bisa menembus dengan baik. Karena zooxanthellae memperoleh energi dengan proses fotosintesis. Karang keras membentuk struktur terumbu dan memiliki tubuh yang keras seperti batu. Karang lunak tidak bersimbiosis dengan alga, bentuknya seperti tanaman. Karang jenis ini bisa hidup di perairan dangkal maupun perairan yang lebih dalam.
Polip merupakan binatang kecil yang menyerupai karung. Di bibir tubuhnya memiliki tentakel untuk menarik dan menangkap mangsa. Makanan polip adalah plankton yang terbawa arus laut. Polip menyerap kalsium karbonat dari air laut dan mengeluarkannya dalam bentuk struktur kapur yang keras untuk melindungi tubuhnya yang lunak.

B.    Sebaran Terumbu Karang


Gambar 1. Sebaran terumbu karang di dunia

Secara global terumbu karang dapat ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Sebagian besar berada di sekitar 30º arah utara dan selatan khatulistiwa. Sebarannya mencakup wilayah di 100 negara dengan luas areal pada tahun 1990-an sekitar 600.000 km2. Saat ini diperkirakan 10 persen ekosistemnya dalam keadaan rusak dan sebagian tidak bisa diperbaharui. Bila keadaan ini terus dibiarkan dalam 20 tahun kedepan diperkirakan kerusakan akan meningkat hingga 30 persen.
Dari peta sebaran terbesar berada di wilayah indo-pasifik dan atlantik. Wilayah indo-pasifik merupakan tempat terumbu karang terluas dengan keanekaragaman paling banyak. Di Great Barrier Reef Australia saja luasnya mencapai 200.000 km2. Daerah-daerah lain yang memiliki terumbu karang luas antara lain perairan laut merah, bagian timur dan barat Samudera Hindia, perairan Indonesia, Malaysia dan Filipna, dan di kepulauan pasifik.
Sedangkan di wilayah atlantik luas terumbu karang hanya 1/20 dibanding di indo-pasific. Dan keragamannya pun tidak terlalu tinggi. Titik-titiknya terdapat di sekitar Bermuda dan Karibia, kemudia ada lagi di sekitar lepas pantai Brasil dan Afrika Barat.

C.  Ancaman Kerusakan Terumbu Karang

1.    Pemutihan Terumbu Karang

“Pemutihan” karang (yaitu menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al.,1999; Fitt et al., 2000). Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa dibeberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60–90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50–80% dari pigmen fotosintesinya. (Glynn, 1996). Ketika penyebab masalah itu disingkirkan, karang yang terinfeksi dapat pulih kembali, tetapi jumlah zooxanthellae kembali normal, tetapi hal ini tergantung dari durasi dan tingkat gangguan lingkungan (Hoegh-Guldberg,1999). Gangguan yang berkepanjangan dapat membuat kematian sebagian atau keseluruhan tidak hanya kepada individu koloni tetapi juga terumbu karang secara luas.
Belum banyak yang dimengerti dari mekanisme pemutihan karang. Akan tetapi, diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu menganggu kemampuan zooxanthellae untuk berfotosintesis, dan dapat memicu produksi kimiawi berbahaya yang merusak sel-sel mereka (Jones et al., 1998; Hoegh-Guldberg dan Jones, 1999). Pemutihan dapat pula terjadi pada organisme-organisme bukan pembentuk terumbu karang seperti karang lunak (soft coral), anemon dan beberapa jenis kima raksasa tertentu (Tridacna spp.), yang juga mempunyai alga simbiosis dalam jaringannya. Sama seperti karang, organisme-organisme ini dapat juga mati apabila kondisi-kondisi yang mengarah kepada pemutihan cukup parah.
Akibat dari pemutihan sangat bervariasi. Pola pemutihan yang berbeda-beda dapat ditemukan dibeberapa koloni dari jenis yang sama, antara jenis yang berlainan di terumbu yang sama dan antara terumbu disuatu daerah (Brown,2000; Huppert dan Stone, 1998; Spencer et al., 2000). Penyebabnya masih belum dapat diketahui, kemungkinan berbagai jenis tekanan alami atau gabungan dari beberapa tekanan menjadi pemicunya bersama dengan variasi-variasi dari jenis zooxanthellae dan kerapatan dalam koloni. Jenis Zooxanthellae yang berbeda dapat menghadapi tingkat tekanan yang berbeda pula dan beberapa zooxanthellae telah menunjukkan dapat beradaptasi kepada beberapa jenis jenis karang tertentu; hal ini dapat menjelaskan variasi pemutihan pada satu jenis karang (Rowan et al., 1997).

Gambar 2. Ujung atas dari koloni karang bercabang (Acropora sp.) ini
telah memutih, tetapi masih hidup; bagian bawahnya telah
mati dan tertutup alga.

2.  Ancaman-ancaman lain terhadap terumbu karang


Pemutihan akibat perubahan iklim bukanlah satu-satunya ancaman bagi terumbu karang. Para peneliti dan pengelola telah prihatin selama bertahun-tahun akan meningkatnya dampak kegiatan manusia yang menurunkan kondisi terumbu karang dunia (Brown, 1987; Salvat, 1987; Wilkinson, 1993; Bryant et al., 1998; Hodgson,1999).Perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 10% dari terumbu karang dunia telah mengalami degradasi yang tak dapat dipulihkan dan 30% lainnya dipastikan akan mengalami penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang (Jameson et al., 1995). Analisa ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang dari kegiatan manusia (pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebihan dan praktek perikanan yang merusak, polusi darat dan erosi dan polusi laut) di tahun 1998 memperkirakan bahwa 27% dari terumbu berada di tingkat berisiko tinggi dan 31% lainnya berada di risiko sedang (Bryant et al., 1998). Ancamanancaman ini sebagian besar merupakan hasil dari kenaikan penggunaan sumber-sumber pesisir oleh populasi pesisir yang berkembang secara cepat, ditunjang oleh kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat.
Terumbu yang telah mengalami tekanan akibat kegiatan manusia dapat menjadi lebih rentan untuk memutih bilamana HotSpots meluas, karena karang yang telah lemah dapat berkurang kemampuannya menghadapi naiknya SPL sebagai tekanan tambahan. Lebih lanjut lagi bahkan setelah SPL kembali normal, dampak manusia dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan karang baru.Tentunya, terumbu yang pernah dihadapkan pada gangguan manusia yang berlanjut seringkali menunjukkan kemampuan yang rendah untuk pulih (Brown, 1997). Dilain pihak, terumbu yang tidak diganggu oleh kegiatan manusia dapat memiliki kemampuan yang lebih baik untuk pulih, bila keadaan lingkungan optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan karang.
Secara historis, terumbu karang telah mampu pulih dari gangguan alam berkala (contohnya topan, predator yang berlebihan, dan beragam penyakit). Justru gangguan kronis dari kegiatan manusialah yang leih merusak saat ini. Ini membawahi pentingnya sedapat mungkin menghilangkan seluruh dampak langsung negatif manusia untuk memberi terumbu kesempatan terbaik agar pulih dari pemutihan. Dampak tersebut dihasilkan dari serangkaian kegiatan diantaranya:
a.       Pembangunan pesisir untuk perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pembangunan marina seringkali menyebabkan reklamasi daratan dan penggerukan tanah. Ini dapat meningkatkan sedimentasi (sehingga mengurangi cahaya dan menutupi karang) dan menimbulkan kerusakan fisik langsung bagi terumbu.
b.       Pengelolaan yang tidak berkelanjutan di daerah aliran sungai yang disesuaikan dan daerah pesisir, termasuk pengurangan lahan hutan, pertanian yang buruk dan praktek pemanfaatan lahan yang buruk, mengacu kepada pengaliran pestisida (yang membahayakan organisme terumbu karang), pupuk (yang menyebabkan bertambahnya nutrisi) dan sedimentasi.
c.       Eksploitasi berlebihan dapat mengakibatkan sejumlah perubahan pada terumbu karang. Penangkapan jenis ikan pemakan alga yang berlebihan dapat mengakibatkan pertumbuhan alga yang eksesif, penangkapan yang berlebihan dari jenis ikan yang berperan amat penting dalam ekosistem terumbu dapat mengakibatkan meledaknya populasi jenis lain dibagian manapun dari rantai makanan.
d.       Kegiatan perikanan yang merusak, seperti memakai alat peledak dan penggunaan jaring insang dan pukat dapat membuat kerusakan fisik yang ekstensif bagi terumbu karang dan mengakibatkan tingginya persentase kematian ikan yang belum dewasa (yaitu bibit ikan dewasa dimasa mendatang). Penggunaan sianida dan racun lain untuk menangkap ikan akuarium juga berdampak negative.
e.       Pembuangan limbah industri dan rumahtangga meningkatkan tingkat nutrisi dan racun dilingkungan terumbu karang. Pembuangan limbah tak diolah langsung ke laut menambah nutrisi dan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atausumber lain khususnya amat mengganggu, karena mereka meningkatkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi terumbu hingga melenyapkan karang pada akhirnya(Done, 1992; Hughes, 1994).
f.        Kegiatan kapal dapat berdampak bagi terumbu melalui tumpahan minyak dan pembuangan dari ballast kapal. Walaupun konsekuensinya kurang dikenal, hal ini berdampak lokal yang berarti. Kerusakan fisik secara langsung dapat terjadi karena kapal membuang sauh di terumbu karang dan pendaratan kapal tak disengaja.
g.       Banyak kegiatan lain yang terjadi langsung di terumbu karang menyebabkan kerusakan fisik bagi karang dan oleh karena itu mempengaruhi integritas struktur karang. Kerusakan seperti ini seringkali terjadi dalam hitungan menit tetapi tahunan untuk memperbaikinya. Sebagai tambahan dari kegiatan sebagaimana disebutkan diatas, kerusakan dapat pula disebabkan karena orang menginjak karang untuk mengumpulkan kerang dan organisme lain didataran terumbu karang atau di daerah terumbu karang yang dangkal, dan penyelam (diving maupun snorkel) berdiri diatas atau mengetuk-ketuk terumbu karang.




D.  Kondisi Terumbu Karang di Indonesia

Indonesia memiliki wilayah laut berkarang seluas 51.020 kilometer persegi, 17 persen dari total wilayah terumbu karang dunia. Jumlah ancaman terhadap terumbu karang Indonesia tersebut juga sangat besar mencapai angka 82 persen. Berbagai macam kerusan terumbu karang terjadi di perairan Indonesia. Fakta yang sangat miris bahwa Indonesia adalah eksportir karang terbesar di dunia. Sekitar 500 ton karang di ekspor Indonesia setiap tahunnya dan lebih banyak lewat pasar gelap.
Kerusakan terumbu karang Indonesia banyak disebabkan oleh aktivitas manusia. Penggunaan alat tangkap ikan yang merusak karang, racun sianida, dan penggunaan bahan peledak masih sangat umum mewarnai dunia nelayan Indonesia. Sebagai contoh, berita yang diterbitkan oleh media Inggris tentang kerusakan terumbu karang di Kepulauan Komodo. Disebutkan Kepulaun Komodo merupakan salah satu wilayah perairan paling spektakuler di Asia, penuh dengan kehidupan laut berwarna-warni. Beberapa bulan yang lalu dibeberapa tempat ditemukan kerusakan dan kehancuran terumbu karang akibat nelayan yang menggunakan bahan peledak dan sianida.  Temuan kerusakan terumbu karang ini membuka mata kita bahwa secara umum beginilah kondisi perairan laut kita. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian terumbu karang membuat cara-cara instan yang tidak ramah lingkungan terus dilakukan.

E. Teknik Restorasi Terumbu Karang

Tehnik-tehnik restorasi dapat dipergunakan untuk membantu dan mempercepat pemulihan terumbu karang yang rusak dengan meningkatkan atau menambah proses alamiah dari kemampuan pemulihan karang. Skala keterlibatan adalah satu hal yang patut dipertimbangkan saat memutuskan untuk merestorasi kondisi terumbu karang terpengaruh dampak pemutihan yang mematikan. Banyak usaha rehabilitasi terbukti tidak efektif atau layak dalam skala besar (km2), baik secara ekonomis maupun ekologis. Tidak masuk akal bila restorasi yang mahal dilakukan pada saat faktor kerusakan tetap terjadi. Selanjutnya, proses pemulihan alamiah mungkin sudah terjadi dan dapat terganggu dengan kegiatan restorasi ini dan malah dapat lebih merugikan dari pada menguntungkan. Penilaian dilakukan secara hati-hati sebelum menentukan apakah intervensi aktif dapat lebih berguna. Dalam banyak kasus, pemulihan alamiah lebih baik daripada “penyembuhan” yang riskan dan mahal.
Oleh karena itu, tehnik-tehnik restorasi dan rehabilitasi terumbu karang yang aktif (seperti pada contoh dibawah) telah dicoba didaerah-daerah terlokalisir dan berskala sangat kecil (kurang dari 100 m2). Metode-metode seperti ini hanya akan merubah sebagian kecil dan berdampak minimal umum bagi terumbu karang, bahkan di negara-negara kecil. Bagaimanapun, metode ini dapat berguna bagi daerah-daerah seperti taman karang kecil yang bernilai tinggi bagi kunjungan wisata.
Sejumlah pendekatan yang berbeda telah diteliti saat ini:
1. Menghilangkan tekanan-tekanan
Ini harus selalu menjadi prioritas utama karena akan mendorong proses pemulihan alami. Metode-metode perbaikan kondisi untuk pertumbuhan karang dengan menghilangkan tekanan yang ada dan berpotensi untuk terjadi yang menghambat penempelan, keselamatan hidup dan pertumbuhan karang-karang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya.
2.    Peningkatan ketersediaan substrat untuk penempelan larva
Walaupun telah mengalami peristiwa pemutihan, karang mati berguna sebagai landasan untuk penempelan larva, ketersediaan substrat yang cocok dapat berkurang karena pertumbuhan alga yang berlebihan. Karena alasan inilah maka polusi yang bersumber dari daratan penyebab penambahan nutrisi harus diminimalkan dan populasi ikan pemakan alga harus dipertahankan. Peningkatan ketersediaan substrat untuk penempelan larva hanya dibutuhkan sekali yaitu pada saat struktur terumbu karang telah terdegradasi. Solusi-solusi untuk peningkatan ketersediaan substrat bervariasi dari yang mudah hingga ke tahap yang sulit dan dari yang murah hingga yang mahal.
Karang dapat dipindahkan dari sebuah terumbu karang dan ditranplantasikan pada substrat alam pada terumbu yang telah rusak (Lindahl, 1998) atau pada substrat buatan seperti blok beton (Clark dan Edwards, 1995). Namun sepertinya ini adalah metode yang mahal (kecuali tersedia pekerja sukarelawan untuk pekerjaan transplantasi ini) dan seringkali mempunyai tingkat kesuksesan yang rendah, karena karang yang ditransplantasi cenderung lebih rentan terhadap tekanan (lihat Edwards dan Clark, 1999). Sumber untuk transplantasi karang harus dipilih secara hati-hati guna menghindari kerusakan bagi terumbu lainnya.
Sumber yang paling baik mungkin terumbu-terumbu karang yang sudah pasti akan terusak parah dimasa mendatang akibat penggerukan pasir, reklamasi pantai, pembuangan cairan limbah atau kegiatan-kegiatan yang tidak tercegah atau bila tak ada jalan keluar.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk membudidayakan karang, terutama di Asia Tenggara (lihat Kotak 9) (Franklin et al., 1998). Lain seperti transplantasi pada karang langsung, untuk budidaya karang maka patahan ditransplantasikan pada lokasi yang terlindung dan tumbuh menjadi ukuran tertentu sebelum dipakai untuk tujuan lain. Pembudidayaan karang yang sukses dapat berguna sebagai sumber karang untuk merehabilitasi terumbu yang rusak dan dapat dipakai sebagai atraksi bawah air bagi snorkeller (Alcock, 1999). Diperlukan penyelidikan lebih lanjut mengenai budidaya karang untuk memotong biaya dan meninggikan tingkat kesuksesan. Penelitian di Australia menunjukkan tingkat kematian dapat ditekan antara 2–5% dan penghilangan biomassa dari koloni karang donor sampai dengan 50% tidak mempengaruhi pertumbuhannya (Alcock, 1999).
Kerusakan terumbu di pesisir Kalimantan Selatan diduga karena sedimentasi yang tinggi yang terbawa oleh arus dari sungai-sungai yang mengalir menuju laut, aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penangkapan dengan menggunakan alat tangkap Trawl dan bom yang dapat merusak terumbu karang bahkan kematian pada terumbu karang serta pengambilan karang untuk bahan bangunan dan hiasan aquarium. Kerusakan terumbu karang ini juga diduga terjadi di perairan Sepagar Kabupaten Kotabaru yang akan dijadikan daerah penelitian.
Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Kotabaru memiliki 2 tipe terumbu karang yaitu, terumbu karang tepi (fringing reefs) dan gosong terumbu (patch reefs). Berdasarkan peta Dishidros, peta digital C-Map, peta LP Bakosurtanal dan citralandsad TM, sebaran terumbu karang di Kabupaten Kotabaru tersebar pada pulau-pulau kecil di Kabupaten Kotabaru berada di sebelah barat. Terumbu karang di perairan Kotabaru cenderung menurun persentase tutupan karangnya. Hal ini diduga adanya perubahan iklim yang memicu peningkatan suhu air laut yang dikenal dengan EL Nino. Satu dekade terakhir dimana kondisi penataan kawasan atas belum baik, terjadi perubahan kawasan tangkapan hujan akibat illegal loging, konversi lahan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan telah memicu peningkatan aliran permukaan (run off) ketika musim penghujan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru, 2010). Kerusakan karang juga terjadi di Desa Sepagar Kecamatan Pulau-Laut Barat. Hal ini dapat dilihat lansung dari aktivitas penduduk setempat yang banyak merambah hutan untuk di jadikan lahan perkebunan dan illegal loging kayu di hulu Sungai Sakarambut dan sekitarnya, dimana aliran sungainya langsung menuju ke arah laut.
Kondisi terumbu karang di perairan Desa Sepagar Kecamatan Pulau Laut Barat Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh aktivatas manusia dan lingkungan di sekitarnya, seperti pemukiman, aktivitas lalu lintas kapal nelayan, dan aktivitas penangkapan ikan. Secara umum kondisi terumbu karang diperairan Sepagar dikategorikan dalam kondisi baik, meskipun demikian apabila kondisi ini tidak mendapat perhatian khusus dan serius dari pihak pemerintah dan masyarakat setempat, maka kemungkinannya dalam beberapa tahun ke depan terumbu karang di perairan Sepagar akan rusak total bahkan punah. Kondisi terumbu karang yang masih baik di perairan Sepagar menunjukkan bahwa perairan sepagar memiliki potensi yang tinggi dalam mendukung produktivitas primer, kehidupan ikan dan molusca serta biota laut lainya di kawasan tersebut.

H. Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang


a.    Input dari Kebijakan
          Bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya merupakan kekayaan alam bernilai tinggi, sehingga diperlukan pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
          Bahwa guna mengatasi kerusakan terumbu karang, perlu dilakukan rehabilitasi biota karang melalui pengelolaan terumbu karang secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
          Bahwa untuk itu perlu ditetapkan pedoman umum pengelolaan terumbu karang
Berdasarkan beberapa rujukan peraturan sebelumnya diantaranya:
·         UU NO 9 Tahun 1985 tentang perikanan
·         UU No 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
·         UU No 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia
·         UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
b. Proses Penyusunan Kebijakan

c. Output dari Kebijakan
·         Mengupayakan pelestarian,prlindungan,dan peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyartkat yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hokum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan international dalam pengelolaan sumber daya alam.
·         Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, dengan meningkatkan hubungan kerja sama antar institusi untuk dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik biofisik dan kebutuhan pembangunan wilayah.
·         Menyusun rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan kelestarian  ekosistem terumbu karang dan sumbr daya alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
·         Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kmitraan antara pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum
·         Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan social budaya masyarakat stempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang dan lingkungan sekitar.
·         Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, system informasi, Pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan meningkatkan [peran sector swasta dan kerja sama international.
·         Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang
Strategi
·         Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada pengelolaan ekosistem terumbu karang.
·         Menguranga Laju Degradasi terumbu karang
9 Strategi yang dihasilkan diantaranya:
·         Mengelolah terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, pemanfaatan, status hukum, dan kearifan masyarakat pesisir.
·         Merumuskan dan mengkoordinasikan program-program instansi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pihak swasta, dan masyarakat yang diperlukan dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.
·         Pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang secara terpadu, penyediaan bantuan teknis dan keuangan, serta penyiapan perangkat pemantauan yang melibatkan pemerintah,pemerintah provinsi,pemerintah kabuoaten dan kota, pihak swasta, perguruan tinggi, Lembaga non pemerintah, dan masyarakat.
·         Menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak-pihak pelaksana pengelolah ekosistem terumbu karang.
·         Mengembangkan, menjaga serta meningkatkan dukungan masyarakat luas dalam upaya-upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara nasional dengan meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai arti penting nilai ekonomis dan ekologis dari ekosistem terumbu karang.
·         Penyebarluasan informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang.
·         Menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan serta mendefinisikan kembali kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya pelestarian lingkungan ekosistem terumbu karang.
·         Meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swasta, Lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan.
·         Meningkatkan dan mempertegas komitmen pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat serta mencari dukungan Lembaga dalam dan luar negeri dalam penyediaan dana untuk mengelolah ekosistem terumbu karang.
d. Dampak dari lahirnya sebuah kebijakan
          Meningkatnya kesadaran dan peran pemangku kepentingan dalam pnglolaan terumbu karang
          Berkurangnya laju degradasi terumbu karang
          Terciptanya suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang potensi,bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada ekosistem terumbu karang.
 2. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Terumbu Karang(Provinsi)

a. Input dari Kebijakan
          Bahwa sumber daya terumbu karang dan ekosistemnya merupakan kekayaan alam yang bernilai tinggi, sehingga diperlukan pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
          Bahwa guna mengatasi kerusakan terumbu karang, perlu dilakukan rehabilitasi biota terumbu karang melalui pengelolaan terumbu karang secara terencana, terpadu dan berkelanjutan;
          Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Terumbu Karang di Kalimantan Selatan;
Berdasarka beberapa rujukan dari peraturan sebelumnya, diantaranya :
·         Undang-Undang  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun  1956  Nomor  65,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor 1106);
·         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1990  Nomor  49,Tambahan         Lembaran   Negara   Republik   Indonesia Nomor 3419);

b. Proses Penyusunan Kebijakan
c. Output dari Kebijakan
          Menetapkan jenis, ukuran dan jumlah tangkapan ikan serta alat tangkap yang diperbolehkan pada daerah dan waktu tertentu
          Menetapkan kuota penangkapan ikan untuk pemangku kepentingan berdasarkan pemilikan alat tangkap, kemampuan penangkapan, atau daerah penangkapan
          Melakukan upaya pemeliharaan, penjagaan dan pengamanan kawasan
          Merehabilitasi kawasan terumbu karang yang telah mengalami kerusakan
          Melakukan pembinaan dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang
d. Dampak dari lahirnya sebuah kebijakan
          Melindungi, memelihara, memperkaya dan merehabilitasi fungsi-fungsi alamiah ekosistem terumbu karang
          Mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang
          Tercapainya pemanfaatan sumber daya ikan dan terumbu karang secara rasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
          Terciptanya sistem dan mekanisme pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat;
          Terciptanya kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa lingkungan terumbu karang
          Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
2.    Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang (Kabupaten)
a. Input dari Kebijakan
  • Kabupaten Kotabaru memiliki ekosistem terumbu karang yang potensinya dapat dikembangkan sebagai penunjang pembangunan dan ekonomi daerah baik berupa sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan maupun jasa lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
  • bahwa ekosistem terumbu karang perlu dikembangkan dan dipertahankan kelestariannya untuk menjamin kelangsungan pemanfaatan sumberdaya hayati laut dan perairan disekitarnya dengan melibatkan peran serta masyarakat;
  • bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Kotabaru;
berdasarkan rujukan dari peraturan yang ada sebelumnya, diantaranya:
  • Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Nomor 1820);
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419)
b. Proses Penyusunan Kebijakan
Pertimbangan perlunya pemeliharan ekosistem terumbu karang, maka perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Kotabaru Persetujuan Bersama DPRD Kabupaten Kotabaru dan Bupati Kotabaru. Dikeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Kotabaru
c. Output dari Kebijakan
          Menetapkan jenis, ukuran dan jumlah tangkapan ikan serta alat tangkap yang diperbolehkan pada waktu tertentu di setiap kawasan pengelolaan
          Menetapkan kuota penangkapan ikan untuk pemangku kepentingan berdasarkan pemilikan alat tangkap, kemampuan penangkapan, atau daerah penangkapan
          Mengembangkan kriteria dan indikator untuk menentukan alternatif tindakan rehabilitasi sesuai dengan tingkat kerusakan ekosistem terumbu karang
          Membentuk Lembaga Mitra Bahari sebagai lembaga pengelola sumberdaya terumbu karang
          Mengembangkan sistem pengelolaan yang dapat mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang
d. Dampak dari lahirnya sebuah kebijakan
          Terpeliharanya kelestarian ekosistem terumbu karang sebagai basis penunjang pemanfaatan suber daya ikan secara berkelanjutan
          Tercapainya pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistem terumbu karang secara rasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
          Terciptanya sistem dan mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat
          Terciptanya kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa lingkungan ekosistem terumbu karang.

·         Semakin banyak orang yang berwisata maka semakin banyak perahu yang disewa untuk ke tengah laut
·         Menambah penghasilan dengan banyaknya tangkapan ikan

3.    Providing Income

·         Menambah daya jual pariwisata bawah laut
·         Ekosistem terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 juta ton ikan per tahunnya, sekitar 300 juta orang di dunia menggantungkan nafkah pada terumbu karang

4.    Suistainable Resources

·         Tempat pemijahan, peneluran dan pembesaran anak ikan secara alami
·         Tempat beberapa jenis biota laut mencari makan
·         Rumah bagi banyak jenis makhluk hidup di laut
·         Melindungi ekosistem pantai
Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang sangat efektif untuk diterapkan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa keterlibatan masyarakat ini harus ditunjang dengan kemampuan sumberdaya manusianya. Disamping itu, dukungan sarana dan prasarana juga sangat menentukan, terutama kaitannya dengan intensif bagi pengelolaan atau masyarakat yang terlibat. Tentunya keberhasilan yang akan dicapai dalam pendekatan berbasis masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang ini, tidak terlepas dari dukungan oleh semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya terumbu karang tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila semuanya berjalan dengan baik dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, maka sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
Kegiatan pendidikan, pelatihan, kampanye, maupun penyadaran kepada berbagai pihak tentang pentingnya melestarikan ekosistem pesisir, juga menjadi bagian dari upaya pelestarian terumbu karang. Selain yang telah disebutkan, masih banyak upaya pelestarian dan rehabilitasi terumbu karang yang perlu dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Humann, Paul and DeLoach, Ned. Reef Coral Identification: Florida Caribbean Bahamas. 2006. Second Ed. New World Publications, Inc. Jacksonville, Fl.
Gomumu. 2017. Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia. gomumu.blogspot.co.id/2014/05/penyebab-kerusakan-terumbu-karang.html. Diakses pada tanggal 9 Desember 2017.
DKP Kabupaten Kotabaru, 2010. Kajian Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru.
Dharmaji, deddy. 2013. Tutupan Terumbu Karang Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan (Studi Kasus Perairan Sepagar). Fish Scientiae, Volume 4 Nomor 6, Desember 2013, hal 90-101.
Brown, B.E. 1987. Worldwide death of corals: natural cyclic events or man-made pollution? Marine Pollution Bulletin 18(1): 9–13.
Brown, B.E. 1997. Coral bleaching: causes and consequences. Coral Reefs 16 (suppl): S129–S138.
Brown, B.E., Dunne, R.P., Ambarsari, I., Le Tissier, M.D.A. and Satapoomin, U. 1999. Seasonal fluctuations in environmental factors and variations in symbiotic algae and chlorophyll pigments in four Indo-Pacific coral species. Marine Ecology Progress Series 91: 53–69.
Bryant, D., Burke, L., McManus, J. and Spalding, M. 1998. Reefs at Risk: A Map Based Indicator of Potential Threats to the World’s Coral Reefs. World Resources Institute (WRI), Washington, D.C. 56 pp. Available online: www.wri.org/indictrs/reefrisk.html
Done, T.J. 1992. Phase shifts in coral reef communities and their ecological significance. Hydrobiologia 247 (1–3): 121–132.
Done, T.J. 1994. Maintenance of biodiversity of coral reef systems through the management for resilience of populations. In Munro JL and Munro PE (eds) The Management of Coral Reef Resource Systems. ICLARM Conference Proceedings 44: 64–64.
Done, T.J. 1995. Ecological criteria for evaluating coral reefs and their implications for managers and researchers. Coral Reefs 14(4): 183–192.
Fitt, W.K., McFarland, F.K., Warner, M.E. and Chilcoat, G.C. 2000. Seasonal patterns of tissue biomass and densities of symbiotic dinoflagellates in reef corals and relation to coral bleaching. Limnology and Oceanography 45(3): 677–685.
Glynn, P.W. 1990. Global Ecological Consequences of the 1982–83 El Niño – Southern Oscillation. Elsevier, Amsterdam. 563 pp.
Glynn, P.W. 1993. Coral reef bleaching: ecological perspectives. Coral Reefs 12: 1–17.
Glynn, P.W. 1996. Coral reef bleaching: facts, hypothesis and implications. Global Change Biology 2(6): 495–509.
Hodgson, G. 1999. A global assessment of human effects on coral reefs. Marine Pollution Bulletin 38(5): 345–355.
Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s coral reefs. Marine and Freshwater Research 50(8): 839–866.
Hoegh-Guldberg, O. and Jones, R. 1999. Photoinhibition and photoprotection in symbiotic dinoflagellates from reef-building corals. Marine Ecology Progress Series 183: 73–86.
Hughes, T.P. 1994. Catastrophes, phase shifts and large scale degradation of a Caribbean coral reef. Science 265(5178): 1547–1551.
Jameson, S.C., McManus, J.W. and Spalding, M.D. 1995. State of the Reefs: Regional and Global Perspectives. Washington, D.C. ICRI, U.S. Department of State. 24 pp.
Jones, R., Hoegh-Guldberg, O., Larkum, A.W.L. and Schreiber, U. 1998. Temperature induced bleaching of corals begins with impairment of dark metabolism in zooxanthellae. Plant Cell and Environment 21(12):1219–1230.
Rowan, R. and Knowlton, N. 1995. Intraspecific diversity and ecological zonation in coral algal symbiosis. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 92(7): 2850–2853.
Rowan, R., Knowlton, N., Baker, A. and Jara, J. 1997. Landscape ecology of algal symbionts creates variation within episodes of coral bleaching. Nature 388(6639): 265–269.
Salvat, B. 1987. Human Impacts on Coral Reefs: Facts and Recommendations. Antenne Museum EPHE French Polynesia. 253 pp.
Spencer, T., Teleki, K.A., Bradshaw, C. and Spalding, M.D. 2000. Coral bleaching in the Southern Seychelles during the 1997–1998 Indian Ocean warming event. Marine Pollution Bulletin 40(7): 569–586.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 19 tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Terumbu Karang di Kalimantan Selatan.
Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru nomor 14 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang Di Kabupaten Kotabaru.
Wilkinson, C.R. 1993. Coral reefs are facing widespread extinctions:can we prevent these through sustainable management practices? Proceedings of the Seventh International Coral Reef Symposium, 22–27 June 1992, Guam 1: 11–21.

1 comment:

  1. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)

    ReplyDelete