MAKAL
PENGELOLAAN TERUMBU
KARANG DI INDONESIA
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut
yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian
pada tahun 1998, luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5 % dari
luasan terumbu karang dunia yaitu seluas 255.300 km2 dengan 70 genera dan 450
spesies. Terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya
merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang
terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat
langsung dan manfaat tidak langsung.
Terumbu
karang memiliki peranan sebagai sumber makanan, habitat biotabiota laut yang bernilai ekonomis
tinggi. Nilai estetika yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata
dan memiliki cadangan sumber plasma nutfah yang tinggi. Selain itu juga dapat
berperan dalam menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan
ombak dan erosi pantai. Terumbu karang diidentifikasi sebagai sumberdaya yang memiliki nilai konservasi
yang tinggi karena memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan, dan
menyediakan cadangan plasma nutfah. Nilai ekonomi
terumbu karang diperkirakan setengah dari nilai ekonomi hutan tropic basah, yaitu sebesar AS $
1.500 km2 pertahun.
Eksploitasi
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara besar-besaran tanpa
mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan hidup di wilayah tersebut, termasuk terumbu karang. Menurut hasil
penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun
2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam
keadaan sedang, 23,72 % dalam keadaan baik, dan 6,20 % dalam keadaan sangat
baik. Hal ini menunjukkan telah terjadi tekanan yang cukup besar terhadap
keberadaan terumbu karang di indonesia pada umumnya oleh beberbagai ancaman dan
faktor-faktor penyebab kerusakan.
Aktivitas
manusia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya terumbu karang sering tumpang tindih dan
bahkan banyak diantara aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan terumbu karang.
Pembukaan hutan mangrove sering menyebabkan penggelontoran sedimen yang
tinggi ke perairan karang, lalu lintas kapal diatas perairan karang dapat menyebabkan
smashing karang, demikian pula aktivitas pariwisata sering menimbulkan dampak terhadap
kehidupan karang. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan ekosistem
terumbu karang akan musnah.
Upaya
pengelolaan dan pelestarian
sumberdaya terumbu karang telah dilakukan oleh pemerintah khususnya di Kepulauan Seribu, namun tidak
akan berjalan dengan baik tanpa kesadaran masyarakat. Karenanya peran serta
masyarakat dalam mencintai dan melestarikan terumbu karang sangat dibutuhkan.Salah satu
upaya untuk menjaga dan menyelamatkan terumbu karang dari pemanfaatan yang tidak
berkelanjutan adalah pengelolaan yang berbasis masyarakat.
A.
Terumbu
Karang
Terumbu karang adalah ekosistem bawah
laut yang terdiri dari sekelompok binatang karang yang membentuk struktur
kalisum karbonat, semacam batu kapur. Ekosistem ini menjadi habitat hidup
berbagai satwa laut. Terumbu karang bersama-sama hutan mangrove merupakan
ekosistem penting yang menjadi gudang keanekaragaman hayati di laut. Dari sisi
keanekaragaman hayati, terumbu karang disebut-sebut sebagai hutan tropis di
lautan.
Ekosistem terumbu karang merupakan
habitat hidup sejumlah spesies bintang laut, tempat pemijahan, peneluran dan
pembesaran anak-anak ikan. Dalam ekosistem ini terdapat banyak makanan
bagi ikan-ikan kecil dan ikan-ikan kecil tersebut merupakan mangsa bagi
predator yang lebih besar. Diperkirakan
terdapat lebih dari satu juta spesies mendiami ekosistem ini. Meski terlihat
kokoh seperti batuan karang, ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan
lingkungan. Suhu optimum bagi pertumbuhan terumbu karang berkisar 26-28°C. Dengan toleransi suhu berkisar
17-34°C.2Perubahan suhu dalam jangka waktu yang
panjang bisa membunuh terumbu karang. Ekosistem ini juga memerlukan perairan
yang jernih, sehingga matahari bisa menembus hingga lapisan terdalamnya.
Terumbu karang terdiri dari dua kata,
yakni terumbu dan karang. Istilah terumbu dan karang memiliki makna yang
berlainan. Istilah karang merujuk pada sekumpulan binatang. Sedangkan terumbu
merupakan struktur kalsium karbonat (CaCO3)
yang dihasilkan oleh karang. Dalam bahasa Inggris disebut coral reef.Binatang
karang terlihat seperti tanaman, padahal sebenarnya karang merupakan sekumpulan
hewan-hewan kecil yang bernama polip. Orang yang pertama kali mengklasifikasikan
karang sebagai binatang adalah J.A. de Peysonell, seorang ahli biologi dari
Perancis pada tahun 1753. Dalam klasifikasi ilmiah, karang berada dalam
filum Cnidaria, kelas Anthozoa.
Terdapat dua macam karang, yakni karang
keras dan karang lunak. Karang keras hidup bersimbiosis dengan alga
bernama zooxanthellae. Karang jenis ini hidup di perairan dangkal
dimana sinar matahari bisa menembus dengan baik. Karena zooxanthellae memperoleh
energi dengan proses fotosintesis. Karang keras membentuk struktur terumbu dan
memiliki tubuh yang keras seperti batu. Karang lunak tidak bersimbiosis dengan
alga, bentuknya seperti tanaman. Karang jenis ini bisa hidup di perairan
dangkal maupun perairan yang lebih dalam.
Polip merupakan binatang kecil yang
menyerupai karung. Di bibir tubuhnya memiliki tentakel untuk menarik dan
menangkap mangsa. Makanan polip adalah plankton yang terbawa arus laut. Polip
menyerap kalsium karbonat dari air laut dan mengeluarkannya dalam bentuk
struktur kapur yang keras untuk melindungi tubuhnya yang lunak.
B.
Sebaran Terumbu Karang
Gambar 1. Sebaran terumbu karang
di dunia
Secara global terumbu karang dapat
ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Sebagian besar berada di sekitar 30º
arah utara dan selatan khatulistiwa. Sebarannya mencakup wilayah di 100
negara dengan luas areal pada tahun 1990-an sekitar 600.000 km2. Saat ini
diperkirakan 10 persen ekosistemnya dalam keadaan rusak dan sebagian tidak
bisa diperbaharui. Bila keadaan ini terus dibiarkan dalam 20 tahun kedepan
diperkirakan kerusakan akan meningkat hingga 30 persen.
Dari peta sebaran terbesar berada
di wilayah indo-pasifik dan atlantik. Wilayah indo-pasifik merupakan
tempat terumbu karang terluas dengan keanekaragaman paling banyak. Di Great
Barrier Reef Australia saja luasnya mencapai 200.000 km2. Daerah-daerah lain
yang memiliki terumbu karang luas antara lain perairan laut merah, bagian timur
dan barat Samudera Hindia, perairan Indonesia, Malaysia dan Filipna, dan di
kepulauan pasifik.
Sedangkan di wilayah atlantik luas
terumbu karang hanya 1/20 dibanding di indo-pasific. Dan keragamannya pun tidak
terlalu tinggi. Titik-titiknya terdapat di sekitar Bermuda dan Karibia, kemudia
ada lagi di sekitar lepas pantai Brasil dan Afrika Barat.
C.
Ancaman Kerusakan Terumbu Karang
1. Pemutihan Terumbu Karang
“Pemutihan” karang (yaitu menjadi pudar
atau berwarna putih
salju) terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena manusia, yang
menyebabkan degenerasi
atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal,
jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim
sebagaimana penyesuaian
karang terhadap lingkungannya (Brown et al.,1999; Fitt et al.,
2000). Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa dibeberapa daerah. Selama
peristiwa pemutihan, karang
kehilangan 60–90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa
dapat kehilangan 50–80% dari pigmen fotosintesinya. (Glynn, 1996). Ketika penyebab masalah itu disingkirkan, karang
yang terinfeksi dapat
pulih kembali, tetapi jumlah zooxanthellae kembali normal, tetapi hal ini tergantung dari
durasi dan tingkat gangguan
lingkungan (Hoegh-Guldberg,1999). Gangguan yang berkepanjangan dapat membuat
kematian sebagian atau
keseluruhan tidak hanya kepada individu koloni tetapi juga terumbu karang secara luas.
Belum banyak yang dimengerti dari
mekanisme pemutihan
karang. Akan tetapi, diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu menganggu
kemampuan zooxanthellae
untuk berfotosintesis, dan dapat memicu produksi kimiawi berbahaya yang merusak
sel-sel mereka (Jones
et al., 1998; Hoegh-Guldberg dan Jones, 1999). Pemutihan dapat pula terjadi pada
organisme-organisme bukan
pembentuk terumbu karang seperti karang lunak (soft coral), anemon dan beberapa
jenis kima raksasa tertentu (Tridacna
spp.), yang juga mempunyai alga simbiosis dalam jaringannya. Sama seperti karang,
organisme-organisme ini dapat
juga mati apabila kondisi-kondisi yang mengarah kepada pemutihan cukup parah.
Akibat dari pemutihan sangat bervariasi.
Pola pemutihan yang
berbeda-beda dapat ditemukan dibeberapa koloni dari jenis yang sama, antara jenis yang
berlainan di terumbu yang
sama dan antara terumbu disuatu daerah (Brown,2000; Huppert dan Stone, 1998;
Spencer et al., 2000). Penyebabnya
masih belum dapat diketahui, kemungkinan berbagai jenis tekanan alami atau
gabungan dari beberapa tekanan
menjadi pemicunya bersama dengan variasi-variasi dari jenis zooxanthellae dan kerapatan
dalam koloni. Jenis Zooxanthellae
yang berbeda dapat menghadapi tingkat tekanan yang berbeda pula dan beberapa
zooxanthellae telah
menunjukkan dapat beradaptasi kepada beberapa jenis jenis karang tertentu; hal ini
dapat menjelaskan variasi pemutihan
pada satu jenis karang (Rowan et al., 1997).
Gambar 2. Ujung atas dari
koloni karang bercabang (Acropora sp.) ini
telah memutih,
tetapi masih hidup; bagian bawahnya telah
mati dan
tertutup alga.
2. Ancaman-ancaman lain
terhadap terumbu karang
Pemutihan akibat perubahan iklim bukanlah
satu-satunya ancaman
bagi terumbu karang. Para peneliti dan pengelola telah prihatin selama bertahun-tahun akan
meningkatnya dampak
kegiatan manusia yang menurunkan kondisi terumbu karang dunia (Brown, 1987;
Salvat, 1987; Wilkinson,
1993; Bryant et al., 1998; Hodgson,1999).Perkiraan terakhir menunjukkan
bahwa 10% dari terumbu
karang dunia telah mengalami degradasi yang tak dapat dipulihkan dan 30% lainnya
dipastikan akan mengalami
penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang (Jameson et al., 1995).
Analisa ancaman-ancaman yang
potensial bagi terumbu karang dari kegiatan manusia (pembangunan daerah pesisir, eksploitasi
berlebihan dan praktek
perikanan yang merusak, polusi darat dan erosi dan polusi laut) di tahun 1998 memperkirakan
bahwa 27% dari terumbu
berada di tingkat berisiko tinggi dan 31% lainnya berada di risiko sedang (Bryant et al.,
1998). Ancamanancaman ini
sebagian besar merupakan hasil dari kenaikan penggunaan sumber-sumber pesisir oleh
populasi pesisir yang
berkembang secara cepat, ditunjang oleh kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat.
Terumbu yang telah mengalami tekanan
akibat kegiatan manusia
dapat menjadi lebih rentan untuk memutih bilamana HotSpots meluas, karena karang yang telah lemah dapat berkurang kemampuannya menghadapi naiknya
SPL sebagai tekanan
tambahan. Lebih lanjut lagi bahkan setelah SPL kembali normal, dampak manusia dapat
menghambat pertumbuhan
dan perkembangan karang baru.Tentunya, terumbu yang pernah dihadapkan pada
gangguan manusia yang
berlanjut seringkali menunjukkan kemampuan yang rendah untuk pulih (Brown, 1997). Dilain
pihak, terumbu yang
tidak diganggu oleh kegiatan manusia dapat memiliki kemampuan yang lebih baik untuk pulih,
bila keadaan lingkungan
optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan karang.
Secara historis, terumbu karang telah
mampu pulih dari gangguan
alam berkala (contohnya topan, predator yang berlebihan, dan beragam penyakit). Justru
gangguan kronis dari
kegiatan manusialah yang leih merusak saat ini. Ini membawahi pentingnya sedapat mungkin
menghilangkan seluruh
dampak langsung negatif manusia untuk memberi terumbu kesempatan terbaik agar pulih
dari pemutihan. Dampak
tersebut dihasilkan dari serangkaian kegiatan diantaranya:
a.
Pembangunan
pesisir untuk perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pembangunan
marina seringkali menyebabkan
reklamasi daratan dan penggerukan tanah. Ini dapat meningkatkan sedimentasi
(sehingga mengurangi
cahaya dan menutupi karang) dan menimbulkan
kerusakan fisik langsung bagi terumbu.
b.
Pengelolaan yang tidak berkelanjutan di
daerah aliran sungai yang disesuaikan dan daerah pesisir, termasuk pengurangan lahan
hutan, pertanian yang buruk dan praktek pemanfaatan lahan yang buruk, mengacu kepada pengaliran pestisida
(yang membahayakan organisme terumbu karang), pupuk (yang menyebabkan bertambahnya nutrisi) dan sedimentasi.
c.
Eksploitasi berlebihan dapat
mengakibatkan sejumlah perubahan pada terumbu karang. Penangkapan jenis ikan pemakan alga yang
berlebihan dapat mengakibatkan pertumbuhan alga yang eksesif, penangkapan yang berlebihan dari jenis
ikan yang berperan amat penting dalam ekosistem terumbu dapat mengakibatkan meledaknya populasi jenis lain dibagian
manapun dari rantai makanan.
d.
Kegiatan perikanan yang merusak, seperti
memakai alat peledak dan penggunaan jaring insang dan pukat dapat membuat kerusakan
fisik yang ekstensif bagi terumbu karang dan mengakibatkan tingginya persentase kematian ikan yang
belum dewasa (yaitu bibit ikan dewasa dimasa mendatang). Penggunaan sianida dan racun lain untuk
menangkap ikan akuarium juga berdampak negative.
e.
Pembuangan limbah industri dan
rumahtangga meningkatkan tingkat nutrisi dan racun dilingkungan terumbu karang.
Pembuangan limbah tak diolah langsung ke laut menambah nutrisi dan pertumbuhan alga yang berlebihan.
Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atausumber lain khususnya amat mengganggu, karena mereka meningkatkan
perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi
terumbu hingga melenyapkan karang pada akhirnya(Done, 1992; Hughes, 1994).
f.
Kegiatan kapal dapat berdampak bagi
terumbu melalui tumpahan minyak dan pembuangan dari ballast kapal. Walaupun
konsekuensinya kurang dikenal, hal ini berdampak lokal yang berarti. Kerusakan fisik secara langsung dapat terjadi
karena kapal membuang sauh di terumbu karang dan pendaratan kapal tak disengaja.
g.
Banyak kegiatan lain yang terjadi
langsung di terumbu karang menyebabkan kerusakan fisik bagi karang dan oleh karena itu mempengaruhi
integritas struktur karang. Kerusakan seperti ini seringkali terjadi dalam hitungan menit tetapi tahunan
untuk memperbaikinya. Sebagai tambahan dari kegiatan sebagaimana disebutkan diatas, kerusakan dapat pula
disebabkan karena orang menginjak karang untuk mengumpulkan kerang dan organisme lain didataran terumbu
karang atau di daerah terumbu karang yang dangkal, dan penyelam (diving maupun snorkel) berdiri diatas atau
mengetuk-ketuk terumbu karang.
| |
D.
Kondisi
Terumbu Karang di Indonesia
Indonesia memiliki wilayah laut berkarang
seluas 51.020 kilometer persegi, 17 persen dari total
wilayah terumbu karang dunia. Jumlah ancaman terhadap terumbu karang
Indonesia tersebut juga sangat besar mencapai angka 82
persen. Berbagai macam kerusan terumbu karang terjadi di perairan
Indonesia. Fakta yang sangat miris bahwa Indonesia adalah eksportir
karang terbesar di dunia. Sekitar 500 ton karang di ekspor Indonesia
setiap tahunnya dan lebih banyak lewat pasar gelap.
Kerusakan terumbu karang Indonesia banyak disebabkan oleh
aktivitas manusia. Penggunaan alat tangkap ikan yang merusak karang, racun
sianida, dan penggunaan bahan peledak masih sangat umum mewarnai dunia nelayan
Indonesia. Sebagai contoh, berita yang diterbitkan oleh media Inggris tentang
kerusakan terumbu karang di Kepulauan Komodo. Disebutkan Kepulaun Komodo
merupakan salah satu wilayah perairan paling spektakuler di Asia, penuh
dengan kehidupan laut berwarna-warni. Beberapa bulan yang lalu dibeberapa
tempat ditemukan kerusakan dan kehancuran terumbu karang akibat nelayan yang
menggunakan bahan peledak dan sianida. Temuan kerusakan terumbu karang
ini membuka mata kita bahwa secara umum beginilah kondisi perairan laut
kita. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian terumbu karang
membuat cara-cara instan yang tidak ramah lingkungan terus dilakukan.
E.
Teknik Restorasi Terumbu Karang
Tehnik-tehnik
restorasi dapat dipergunakan untuk membantu dan mempercepat pemulihan
terumbu karang yang
rusak dengan meningkatkan atau menambah proses alamiah dari kemampuan
pemulihan karang. Skala
keterlibatan adalah satu hal yang patut dipertimbangkan saat
memutuskan untuk merestorasi kondisi
terumbu karang terpengaruh dampak pemutihan yang mematikan. Banyak usaha
rehabilitasi terbukti tidak efektif
atau layak dalam skala besar (km2), baik secara ekonomis maupun ekologis.
Tidak masuk akal bila restorasi yang
mahal dilakukan pada saat faktor kerusakan tetap terjadi. Selanjutnya, proses
pemulihan alamiah mungkin sudah
terjadi dan dapat terganggu dengan kegiatan restorasi ini dan malah dapat lebih
merugikan dari pada menguntungkan.
Penilaian dilakukan secara hati-hati sebelum menentukan apakah intervensi
aktif dapat lebih berguna.
Dalam banyak kasus, pemulihan alamiah lebih baik daripada “penyembuhan”
yang riskan dan mahal.
Oleh
karena itu, tehnik-tehnik restorasi dan rehabilitasi terumbu karang yang aktif
(seperti pada contoh dibawah) telah
dicoba didaerah-daerah terlokalisir dan berskala sangat kecil (kurang dari 100 m2).
Metode-metode seperti ini hanya akan
merubah sebagian kecil dan berdampak minimal umum bagi terumbu karang, bahkan
di negara-negara kecil. Bagaimanapun,
metode ini dapat berguna bagi daerah-daerah seperti taman karang kecil
yang bernilai tinggi bagi kunjungan
wisata.
Sejumlah
pendekatan yang berbeda telah diteliti saat ini:
1. Menghilangkan
tekanan-tekanan
Ini
harus selalu menjadi prioritas utama karena akan mendorong proses pemulihan
alami. Metode-metode perbaikan
kondisi untuk pertumbuhan karang dengan menghilangkan tekanan yang
ada dan berpotensi untuk terjadi
yang menghambat penempelan, keselamatan hidup dan pertumbuhan karang-karang
telah dijelaskan dalam bagian
sebelumnya.
2.
Peningkatan ketersediaan substrat untuk penempelan
larva
Walaupun
telah mengalami peristiwa pemutihan, karang mati berguna sebagai landasan
untuk penempelan larva, ketersediaan
substrat yang cocok dapat berkurang karena pertumbuhan alga yang
berlebihan. Karena alasan inilah maka polusi yang bersumber dari daratan
penyebab penambahan
nutrisi harus diminimalkan dan populasi ikan pemakan alga harus dipertahankan.
Peningkatan ketersediaan
substrat untuk penempelan larva hanya dibutuhkan sekali yaitu pada saat
struktur terumbu karang telah
terdegradasi. Solusi-solusi untuk peningkatan ketersediaan substrat
bervariasi dari yang mudah hingga ke tahap yang sulit dan dari yang murah
hingga yang mahal.
Karang
dapat dipindahkan dari sebuah terumbu karang dan ditranplantasikan pada
substrat alam pada terumbu yang
telah rusak (Lindahl, 1998) atau pada substrat buatan seperti blok beton (Clark dan
Edwards, 1995). Namun sepertinya
ini adalah metode yang mahal (kecuali tersedia pekerja sukarelawan untuk
pekerjaan transplantasi ini) dan seringkali mempunyai tingkat kesuksesan
yang rendah, karena
karang yang ditransplantasi cenderung lebih rentan terhadap tekanan (lihat Edwards
dan Clark, 1999). Sumber untuk
transplantasi karang harus dipilih secara hati-hati guna menghindari kerusakan
bagi terumbu lainnya.
Sumber
yang paling baik mungkin terumbu-terumbu karang yang sudah pasti akan terusak
parah dimasa mendatang akibat penggerukan
pasir, reklamasi pantai, pembuangan cairan limbah atau kegiatan-kegiatan
yang tidak tercegah atau bila tak
ada jalan keluar.
Beberapa
upaya telah dilakukan untuk membudidayakan karang, terutama di Asia Tenggara
(lihat Kotak 9) (Franklin et
al., 1998). Lain seperti transplantasi pada karang langsung, untuk budidaya karang maka
patahan ditransplantasikan pada
lokasi yang terlindung dan tumbuh menjadi ukuran tertentu sebelum dipakai untuk
tujuan lain. Pembudidayaan karang
yang sukses dapat berguna sebagai sumber karang untuk merehabilitasi terumbu
yang rusak dan dapat dipakai sebagai
atraksi bawah air bagi snorkeller (Alcock, 1999). Diperlukan penyelidikan lebih
lanjut mengenai budidaya karang
untuk memotong biaya dan meninggikan tingkat kesuksesan. Penelitian di
Australia menunjukkan tingkat kematian
dapat ditekan antara 2–5% dan penghilangan biomassa dari koloni karang
donor sampai dengan 50% tidak
mempengaruhi pertumbuhannya (Alcock, 1999).
Kerusakan
terumbu di pesisir Kalimantan
Selatan diduga karena sedimentasi
yang tinggi yang terbawa oleh
arus dari sungai-sungai yang mengalir
menuju laut, aktivitas penangkapan
ikan yang tidak ramah lingkungan
seperti penangkapan dengan
menggunakan alat tangkap Trawl
dan bom yang dapat merusak terumbu
karang bahkan kematian pada terumbu
karang serta pengambilan karang
untuk bahan bangunan dan hiasan
aquarium. Kerusakan terumbu karang
ini juga diduga terjadi di perairan
Sepagar Kabupaten Kotabaru yang
akan dijadikan daerah penelitian.
Wilayah
pesisir dan laut Kabupaten
Kotabaru memiliki 2 tipe terumbu
karang yaitu, terumbu karang tepi
(fringing reefs) dan gosong terumbu (patch reefs).
Berdasarkan peta
Dishidros, peta digital C-Map, peta
LP Bakosurtanal dan citralandsad TM, sebaran terumbu karang di Kabupaten Kotabaru tersebar
pada pulau-pulau
kecil di Kabupaten Kotabaru
berada di sebelah barat. Terumbu
karang di perairan Kotabaru cenderung
menurun persentase tutupan karangnya.
Hal ini diduga adanya perubahan
iklim yang memicu peningkatan
suhu air laut yang dikenal dengan
EL Nino. Satu dekade terakhir dimana
kondisi penataan kawasan atas belum
baik, terjadi perubahan kawasan tangkapan
hujan akibat illegal loging, konversi lahan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan
telah memicu
peningkatan aliran permukaan (run
off) ketika musim penghujan (Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Kotabaru, 2010). Kerusakan
karang juga terjadi di Desa Sepagar
Kecamatan Pulau-Laut Barat. Hal
ini dapat dilihat lansung dari aktivitas
penduduk setempat yang banyak
merambah hutan untuk di jadikan
lahan perkebunan dan illegal loging kayu di hulu Sungai Sakarambut dan sekitarnya,
dimana aliran
sungainya langsung menuju ke arah
laut.
Kondisi
terumbu karang di perairan
Desa Sepagar Kecamatan Pulau
Laut Barat Kabupaten Kotabaru Provinsi
Kalimantan Selatan dipengaruhi
oleh aktivatas manusia dan
lingkungan di sekitarnya, seperti pemukiman, aktivitas lalu lintas kapal nelayan, dan aktivitas
penangkapan ikan. Secara umum kondisi terumbu karang diperairan Sepagar dikategorikan dalam kondisi
baik, meskipun
demikian apabila kondisi ini tidak
mendapat perhatian khusus dan serius
dari pihak pemerintah dan masyarakat
setempat, maka kemungkinannya
dalam beberapa tahun
ke depan terumbu karang di perairan Sepagar akan rusak total bahkan punah. Kondisi terumbu
karang yang masih
baik di perairan Sepagar menunjukkan
bahwa perairan sepagar memiliki
potensi yang tinggi dalam mendukung
produktivitas primer, kehidupan
ikan dan molusca serta biota laut
lainya di kawasan tersebut.
H.
Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang
a.
Input
dari Kebijakan
•
Bahwa
sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya merupakan kekayaan alam bernilai
tinggi, sehingga diperlukan pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan.
•
Bahwa
guna mengatasi kerusakan terumbu karang, perlu dilakukan rehabilitasi biota
karang melalui pengelolaan terumbu karang secara terencana, terpadu, dan
berkelanjutan.
•
Bahwa
untuk itu perlu ditetapkan pedoman umum pengelolaan terumbu karang
Berdasarkan
beberapa rujukan peraturan sebelumnya diantaranya:
·
UU
NO 9 Tahun 1985 tentang perikanan
·
UU
No 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
·
UU
No 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia
·
UU
No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
b.
Proses Penyusunan Kebijakan
c.
Output dari Kebijakan
·
Mengupayakan
pelestarian,prlindungan,dan peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang,
terutama bagi kepentingan masyartkat yang kelangsungan hidupnya sangat
bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran
hokum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengacu kepada
standar-standar nasional dan international dalam pengelolaan sumber daya alam.
·
Mengembangkan
kapasitas dan kapabilitas pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota, dengan meningkatkan hubungan kerja sama antar institusi untuk
dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu
karang berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam
yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik biofisik
dan kebutuhan pembangunan wilayah.
·
Menyusun
rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan
kelestarian ekosistem terumbu karang dan
sumbr daya alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin
kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
·
Meningkatkan
kerjasama, koordinasi dan kmitraan antara pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang yang meliputi aspek perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum
·
Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi
kerakyatan, dengan mempertimbangkan social budaya masyarakat stempat dan tetap
memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang dan lingkungan sekitar.
·
Mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, system informasi, Pendidikan dan
pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan meningkatkan [peran
sector swasta dan kerja sama international.
·
Menggali
dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang
Strategi
·
Memberdayakan
masyarakat pesisir yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada
pengelolaan ekosistem terumbu karang.
·
Menguranga
Laju Degradasi terumbu karang
9 Strategi yang dihasilkan
diantaranya:
·
Mengelolah
terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang
wilayah, pemanfaatan, status hukum, dan kearifan masyarakat pesisir.
·
Merumuskan
dan mengkoordinasikan program-program instansi pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, pihak swasta, dan masyarakat yang diperlukan dalam
pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.
·
Pengelolaan
dan pemanfaatan terumbu karang secara terpadu, penyediaan bantuan teknis dan
keuangan, serta penyiapan perangkat pemantauan yang melibatkan
pemerintah,pemerintah provinsi,pemerintah kabuoaten dan kota, pihak swasta,
perguruan tinggi, Lembaga non pemerintah, dan masyarakat.
·
Menciptakan
dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak-pihak pelaksana
pengelolah ekosistem terumbu karang.
·
Mengembangkan,
menjaga serta meningkatkan dukungan masyarakat luas dalam upaya-upaya
pengelolaan ekosistem terumbu karang secara nasional dengan meningkatkan
kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai arti penting nilai ekonomis dan
ekologis dari ekosistem terumbu karang.
·
Penyebarluasan
informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan terumbu karang.
·
Menyempurnakan
berbagai peraturan perundang-undangan serta mendefinisikan kembali kriteria
keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya
pelestarian lingkungan ekosistem terumbu karang.
·
Meningkatkan
dan memperluas kemitraan antara pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, swasta, Lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan.
·
Meningkatkan
dan mempertegas komitmen pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan masyarakat serta mencari dukungan Lembaga dalam dan luar
negeri dalam penyediaan dana untuk mengelolah ekosistem terumbu karang.
d. Dampak dari lahirnya
sebuah kebijakan
•
Meningkatnya
kesadaran dan peran pemangku kepentingan dalam pnglolaan terumbu karang
•
Berkurangnya
laju degradasi terumbu karang
•
Terciptanya
suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang
potensi,bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada
ekosistem terumbu karang.
a. Input dari Kebijakan
•
Bahwa
sumber daya terumbu karang dan ekosistemnya merupakan kekayaan alam yang
bernilai tinggi, sehingga diperlukan pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan
•
Bahwa
guna mengatasi kerusakan terumbu karang, perlu dilakukan rehabilitasi biota
terumbu karang melalui pengelolaan terumbu karang secara terencana, terpadu dan
berkelanjutan;
•
Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Terumbu Karang di Kalimantan
Selatan;
Berdasarka beberapa rujukan
dari peraturan sebelumnya, diantaranya :
·
Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1956
Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1106);
·
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990
Nomor 49,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
b. Proses Penyusunan Kebijakan
c. Output dari Kebijakan
•
Menetapkan
jenis, ukuran dan jumlah tangkapan ikan serta alat tangkap yang diperbolehkan pada daerah dan
waktu tertentu
•
Menetapkan kuota penangkapan ikan untuk pemangku kepentingan
berdasarkan pemilikan alat tangkap, kemampuan penangkapan, atau daerah
penangkapan
•
Melakukan upaya pemeliharaan, penjagaan dan pengamanan
kawasan
•
Merehabilitasi
kawasan terumbu karang yang telah mengalami kerusakan
•
Melakukan
pembinaan dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang
d. Dampak dari lahirnya
sebuah kebijakan
•
Melindungi,
memelihara, memperkaya dan merehabilitasi fungsi-fungsi alamiah ekosistem terumbu
karang
•
Mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan
variasi pemanfaatan terumbu karang
•
Tercapainya
pemanfaatan sumber daya ikan dan terumbu karang secara rasional
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
•
Terciptanya
sistem dan mekanisme pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat;
•
Terciptanya
kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa lingkungan terumbu karang
•
Menciptakan
keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
2.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3
Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
Terumbu Karang (Kabupaten)
a.
Input dari Kebijakan
- Kabupaten Kotabaru
memiliki ekosistem terumbu karang yang potensinya dapat dikembangkan
sebagai penunjang pembangunan dan ekonomi daerah baik berupa sumber daya
ikan, lingkungan sumber daya ikan maupun jasa lingkungan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
- bahwa ekosistem terumbu
karang perlu dikembangkan dan dipertahankan kelestariannya untuk menjamin
kelangsungan pemanfaatan sumberdaya hayati laut dan perairan disekitarnya
dengan melibatkan peran serta masyarakat;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Kotabaru;
berdasarkan
rujukan dari peraturan yang ada sebelumnya, diantaranya:
- Pasal
18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di
Kalimantan sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1959 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1820);
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419)
b.
Proses Penyusunan Kebijakan
Pertimbangan perlunya pemeliharan
ekosistem terumbu karang, maka perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Kotabaru Persetujuan Bersama DPRD Kabupaten Kotabaru dan Bupati
Kotabaru. Dikeluarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan
Terumbu Karang di Kabupaten Kotabaru
c. Output dari Kebijakan
•
Menetapkan
jenis, ukuran dan jumlah tangkapan ikan serta alat tangkap yang diperbolehkan pada waktu tertentu
di setiap kawasan pengelolaan
•
Menetapkan kuota penangkapan ikan untuk pemangku
kepentingan berdasarkan pemilikan alat tangkap, kemampuan penangkapan, atau
daerah penangkapan
•
Mengembangkan kriteria dan indikator untuk menentukan
alternatif tindakan rehabilitasi sesuai dengan tingkat kerusakan ekosistem
terumbu karang
•
Membentuk Lembaga Mitra Bahari sebagai lembaga pengelola
sumberdaya terumbu karang
•
Mengembangkan sistem pengelolaan yang dapat mengurangi
tekanan terhadap ekosistem terumbu karang
d. Dampak dari lahirnya
sebuah kebijakan
•
Terpeliharanya kelestarian ekosistem terumbu karang
sebagai basis penunjang pemanfaatan suber daya ikan secara berkelanjutan
•
Tercapainya pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistem
terumbu karang secara rasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
•
Terciptanya
sistem dan mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat
•
Terciptanya kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi
ekonomi dan jasa lingkungan ekosistem terumbu karang.
·
Semakin banyak orang yang berwisata maka semakin banyak
perahu yang disewa untuk ke tengah laut
·
Menambah penghasilan dengan banyaknya tangkapan ikan
3. Providing Income
·
Menambah daya jual pariwisata bawah laut
·
Ekosistem terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25
juta ton ikan per tahunnya, sekitar 300 juta orang di dunia menggantungkan
nafkah pada terumbu karang
4. Suistainable Resources
·
Tempat pemijahan, peneluran dan pembesaran anak ikan
secara alami
·
Tempat beberapa jenis biota laut mencari makan
·
Rumah bagi banyak jenis makhluk hidup di laut
·
Melindungi ekosistem pantai
Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan dalam upaya
pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang sangat efektif untuk
diterapkan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa keterlibatan masyarakat ini
harus ditunjang dengan kemampuan sumberdaya manusianya. Disamping itu, dukungan
sarana dan prasarana juga sangat menentukan, terutama kaitannya dengan intensif
bagi pengelolaan atau masyarakat yang terlibat. Tentunya keberhasilan yang akan
dicapai dalam pendekatan berbasis masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang
ini, tidak terlepas dari dukungan oleh semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan
sumberdaya terumbu karang tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Apabila semuanya berjalan dengan baik dalam pengelolaan ekosistem terumbu
karang, maka sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
Kegiatan pendidikan, pelatihan, kampanye, maupun penyadaran kepada berbagai
pihak tentang pentingnya melestarikan ekosistem pesisir, juga menjadi bagian
dari upaya pelestarian terumbu karang. Selain yang telah disebutkan, masih
banyak upaya pelestarian dan rehabilitasi terumbu karang yang perlu dilakukan
di berbagai wilayah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Humann, Paul and DeLoach, Ned. Reef Coral Identification:
Florida Caribbean Bahamas. 2006. Second Ed. New World Publications, Inc.
Jacksonville, Fl.
Gomumu. 2017. Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia.
gomumu.blogspot.co.id/2014/05/penyebab-kerusakan-terumbu-karang.html. Diakses
pada tanggal 9 Desember 2017.
DKP Kabupaten Kotabaru, 2010. Kajian
Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru.
Dharmaji, deddy. 2013. Tutupan
Terumbu Karang Kabupaten Kotabaru Provinsi
Kalimantan Selatan (Studi Kasus
Perairan Sepagar). Fish Scientiae, Volume 4 Nomor 6,
Desember 2013, hal 90-101.
Brown, B.E.
1987. Worldwide death of corals: natural cyclic events or man-made pollution? Marine Pollution Bulletin 18(1):
9–13.
Brown, B.E.
1997. Coral bleaching: causes and consequences. Coral Reefs 16
(suppl): S129–S138.
Brown, B.E.,
Dunne, R.P., Ambarsari, I., Le Tissier, M.D.A. and Satapoomin, U. 1999. Seasonal fluctuations in
environmental factors and
variations in symbiotic algae and chlorophyll pigments in four Indo-Pacific coral species. Marine
Ecology Progress Series 91:
53–69.
Bryant, D.,
Burke, L., McManus, J. and Spalding, M. 1998. Reefs at Risk: A Map Based Indicator of Potential Threats
to the World’s Coral Reefs. World Resources Institute
(WRI), Washington, D.C. 56 pp. Available online: www.wri.org/indictrs/reefrisk.html
Done, T.J.
1992. Phase shifts in coral reef communities and their ecological significance. Hydrobiologia 247
(1–3): 121–132.
Done, T.J.
1994. Maintenance of biodiversity of coral reef systems through the management for resilience of
populations. In Munro JL and Munro
PE (eds) The Management of Coral Reef Resource Systems. ICLARM Conference Proceedings 44: 64–64.
Done, T.J.
1995. Ecological criteria for evaluating coral reefs and their implications for managers and researchers. Coral
Reefs 14(4):
183–192.
Fitt, W.K.,
McFarland, F.K., Warner, M.E. and Chilcoat, G.C. 2000. Seasonal patterns of tissue biomass and
densities of symbiotic
dinoflagellates in reef corals and relation to coral bleaching. Limnology and Oceanography 45(3):
677–685.
Glynn, P.W.
1990. Global Ecological Consequences of the 1982–83 El Niño – Southern Oscillation.
Elsevier, Amsterdam. 563 pp.
Glynn, P.W.
1993. Coral reef bleaching: ecological perspectives. Coral Reefs 12: 1–17.
Glynn, P.W.
1996. Coral reef bleaching: facts, hypothesis and implications. Global Change Biology 2(6):
495–509.
Hodgson, G.
1999. A global assessment of human effects on coral reefs. Marine Pollution Bulletin 38(5):
345–355.
Hoegh-Guldberg,
O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s coral reefs. Marine and
Freshwater Research 50(8):
839–866.
Hoegh-Guldberg,
O. and Jones, R. 1999. Photoinhibition and photoprotection in symbiotic dinoflagellates from
reef-building corals. Marine
Ecology Progress Series 183: 73–86.
Hughes, T.P.
1994. Catastrophes, phase shifts and large scale degradation of a Caribbean coral reef. Science 265(5178):
1547–1551.
Jameson, S.C.,
McManus, J.W. and Spalding, M.D. 1995. State of the Reefs: Regional and Global
Perspectives. Washington, D.C. ICRI, U.S. Department of State. 24 pp.
Jones, R.,
Hoegh-Guldberg, O., Larkum, A.W.L. and Schreiber, U. 1998. Temperature induced bleaching of corals begins
with impairment of dark metabolism in zooxanthellae. Plant
Cell and Environment 21(12):1219–1230.
Rowan, R. and
Knowlton, N. 1995. Intraspecific diversity and ecological zonation in coral algal symbiosis.
Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America 92(7): 2850–2853.
Rowan, R.,
Knowlton, N., Baker, A. and Jara, J. 1997. Landscape ecology of algal symbionts creates variation within
episodes of coral
bleaching. Nature 388(6639): 265–269.
Salvat, B.
1987. Human Impacts on Coral Reefs: Facts and Recommendations. Antenne Museum EPHE French
Polynesia. 253 pp.
Spencer, T.,
Teleki, K.A., Bradshaw, C. and Spalding, M.D. 2000. Coral bleaching in the Southern Seychelles during
the 1997–1998 Indian Ocean
warming event. Marine Pollution Bulletin 40(7): 569–586.
Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Pengelolaan
Terumbu Karang.
Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 19 tahun 2012 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Terumbu Karang di Kalimantan Selatan.
Peraturan
Daerah Kabupaten Kotabaru nomor 14 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Terumbu
Karang Di Kabupaten Kotabaru.
Wilkinson,
C.R. 1993. Coral reefs are facing widespread extinctions:can we prevent these
through sustainable management practices? Proceedings of the Seventh International Coral Reef
Symposium, 22–27 June
1992, Guam 1: 11–21.
Izin promo ya Admin^^
ReplyDeleteBosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)